REPUBLIKA.CO.ID, BUSAN -- Dua tahun yang lalu, negara-negara sepakat untuk merumuskan perjanjian yang bertujuan mengakhiri polusi plastik. Pekan ini, negara-negara di seluruh dunia berupaya menyelesaikan perjanjian global yang mengikat untuk membatasi lonjakan plastik.
Dalam putaran terakhir negosiasi yang berlangsung di Busan, Korea Selatan, perwakilan dari sekitar 175 negara akan mencoba mengatasi perbedaan mengenai cara menangani banjir limbah plastik. Program Lingkungan PBB (UNEP) mengatakan, mengingat besarnya skala krisis plastik, perjanjian ini akan menjadi kesepakatan lingkungan multilateral yang paling signifikan sejak perjanjian iklim Paris 2015.
Dikutip dari Deutsche Welle, Selasa (26/11/2024), pada tahun 2019, dunia menghasilkan sekitar 350 juta ton limbah plastik, namun hanya sembilan persen yang berhasil didaur ulang. Sisanya dibakar, dibuang ke tempat pembuangan sampah, atau berakhir di lingkungan. Beberapa negara telah mengambil langkah dengan melarang penggunaan sedotan dan peralatan makan sekali pakai.
Produk plastik yang tahan lama, seperti sedotan sekali pakai, dapat bertahan di alam selama ratusan tahun, mencemari ekosistem dan rantai makanan. Menurut ilmuwan, karena sekitar 99 persen plastik berasal dari bahan bakar fosil, maka produksi plastik juga memperburuk krisis iklim.
Dalam pembicaraan soal pengurangan limbah plastik di Ottawa, Kanada bulan April lalu, Rwanda dan Peru mengusulkan dunia mengurangi produksi plastik polimer hingga 40 persen pada tahun 2040. Usulan ini disebut target "40 by 40".
Pengurangan ini dapat dicapai melalui berbagai langkah mitigasi yang diterapkan di seluruh siklus hidup plastik, termasuk pengurangan produksi plastik, penghapusan plastik sekali pakai yang beracun, serta perancangan ulang kemasan agar lebih dapat digunakan kembali, terurai secara hayati, dan dapat didaur ulang sepenuhnya.
Sementara itu, perusahaan multinasional yang menggunakan kemasan plastik untuk produk mereka mempromosikan lebih banyak daur ulang plastik sebagai solusi untuk krisis ini, termasuk melalui teknologi daur ulang kimia yang lebih efisien dibandingkan dengan metode mekanis. Namun, kelompok-kelompok seperti Greenpeace menyerukan agar perjanjian ini lebih fokus pada pengurangan produksi plastik.
Diperkirakan, produksi plastik akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050, sebagian besar disebabkan oleh biaya pembuatan plastik baru yang lebih murah dibandingkan dengan proses daur ulang, terutama dengan kelebihan pasokan gas fracking di negara-negara seperti Amerika Serikat.
Industri bahan bakar fosil juga dengan cepat memperluas pasar plastik baru sebagai alternatif pertumbuhan utama mereka untuk menggantikan bisnis yang hilang akibat transisi energi hijau. Daur ulang dan pengelolaan limbah tidak dapat mengikuti ledakan produksi plastik.
"Kapasitas pengelolaan limbah sudah kewalahan; kami memiliki kelebihan dan kelimpahan plastik," kata ketua Kampanye Lautan di Environmental Investigation Agency (EIA) yang berbasis di New York Christina Dixon.
Namun, beberapa pihak berpendapat bahkan target "40 by 40" pun tidak cukup, terutama dalam upaya membatasi kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat Celsius rata-rata masa pra-industri. Organisasi lingkungan Greenpeace mengatakan berdasarkan pemodelan, pada tahun 2024 dunia perlu mengurangi 75 persen produksi plastik agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celsius dari rata-rata masa pra-industri.