Rabu 11 Dec 2024 15:30 WIB

Perubahan Iklim Berdampak Serius pada Kesehatan Masyarakat Negara Kepulauan Kecil

Perubahan iklim juga membahayakan ketahanan pangan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian mengungkapkan perubahan iklim berdampak pada kesehatan 65 juta orang  yang tinggal di negara-negara berkembang kepulauan kecil (SID). Lancet Countdown melaporkan seiring meningkatnya pemanasan global, bencana-bencana seperti gelombang panas, kekeringan, wabah penyakit yang ditularkan serangga dan cuaca ekstrem semakin sering dan tinggi intensitasnya.

Lancet Countdown Centre untuk SID mengatakan lebih dari satu juta orang yang tinggal di dataran rendah di SID di Pasifik, Karibia, Atlantik, Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan kemungkinan terpaksa mengungsi karena kenaikan permukaan air laut.

Perubahan iklim juga membahayakan ketahanan pangan karena merusak stabilitas lingkungan maritim, dan dapat memicu masalah kesehatan kronis seperti diabetes dan obesitas. Lancet Countdown mengatakan masalah ini hanya bisa diatasi dengan "tindakan internasional dari negara-negara pendapat tinggi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca" karena emisi kolektif SID jauh lebih rendah dari negara-negara maju.

"Salah satu tantangan utamanya adalah pemanasan global,” kata Direktur Centre Lancet Countdown SID Georgiana Gordon-Strachan, seperti dikutip dari the Guardian, Rabu (11/12/2024).

Gordon-Strachan yang memimpin 35 peneliti, dalam laporan itu mengatakan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada fisik manusia, tapi juga pada lingkungan maritim yang merupakan bagian penting dari budaya dan pola makan masyarakat SID.

"Terdampak peristiwa cuaca ekstrem, karena sekali laut menghangat, panas memberi makan pada badai monster yang sangat besar dan berkembang dengan sangat-sangat cepat," kata peneliti dari University of the West Indies itu.  

Ia menambahkan panas juga berdampak pada produktivitas masyarakat karena mengurangi jam kerja dengan aman di luar ruangan. Dalam laporannya Lancet Countdown menemukan pada tahun 2023 lalu diperkirakan 4,4 miliar jam kerja di SID hilang akibat panas ekstrem.  Lebih tinggi 71 persen dibanding rata-rata dari tahun 1991 sampai 2000. Gordon-Strachan mengatakan perubahan iklim memperburuk "situasi yang sudah buruk" di SID.

"Semua konsekuensi pemanasan global berdampak pada kami dengan cara yang serius, mulai dari peristiwa ekstrem sampai kehilangan rumah, kehilangan nyawa dan kehilangan mata pencaharian," katanya.

Ia menambahkan istilah "kehilangan rumah" tampaknya tidak cukup untuk menggambar potensi bencana yang dihadapi masyarakat SID. Sebab, kenaikan permukaan air laut dapat menenggelamkan  negara mereka seluruhnya.

“Seruan yang jelas untuk bertindak guna melindungi dan meningkatkan kesehatan dari konsekuensi perubahan iklim yang mengerikan yang telah mencapai wilayah kami. Apa yang kita tunggu?” kata Gordon-Strachan.

Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan bulan November lalu berakhir dengan mengecewakan banyak negara berkembang. Para negosiator SID sempat keluar dari salah satu sesi negosiasi dan mengancam akan meninggalkan pertemuan tersebut.

“Lintasan yang memprihatinkan dari temuan ini memperingatkan kita bahwa kerugian dan kerusakan yang telah dirasakan sebagai akibat dari perubahan iklim akan semakin memburuk hingga mencapai titik malapetaka jika tidak ada tindakan yang terpadu dan ambisius," kata salah satu penulis laporan Lancet Countdown lainnya Roannie Ng Shiu dari University of Auckland.

Laporan itu menemukan perubahan suhu, curah hujan dan kelembapan sudah meningkatkan penularan penyakit tiga kali lipat sejak tahun 1950-an. Dampak perubahan iklim pada pertanian dan perikanan yang mendorong impor makanan olahan dan menurunkan kemungkinan olahraga di luar ruangan juga meningkatkan resiko kesehatan.

Laporan ini menyoroti SID sebagai salah satu suara paling lantang yang menyerukan perhatian pada hubungan antara kesehatan dan perubahan iklim. Pada sidang umum PBB tahun 2022, 64 persen pernyataan tentang topik tersebut berasal dari para pemimpin mereka.

Namun, mereka memperingatkan sistem kesehatan di negara-negara tersebut tidak siap menghadapi dampak krisis iklim. Hanya delapan dari 59 negara yang diteliti yang memiliki strategi iklim dan kesehatan nasional, dan sebagian besar tidak memiliki proyeksi iklim yang diperlukan untuk menyelesaikan penilaian kerentanan dan risiko.

Para penulis juga memperingatkan kurangnya data berkualitas tinggi di SID menghambat upaya untuk memantau kemajuan dan mengidentifikasi populasi yang rentan. Gordon-Strachan mengatakan sangat sulit untuk melacak dampak kerusakan iklim terhadap kesehatan mental.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement