REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketidakpastian iklim membuat masyarakat miskin semakin rentan terhadap guncangan ekonomi dan sosial. Untuk itu, Kementerian PPN/Bappenas mendorong penguatan sistem perlindungan sosial yang adaptif terhadap perubahan iklim dan bencana, agar mampu memperkuat ketahanan masyarakat di tingkat lokal.
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menjelaskan bahwa daya lenting (resiliensi) masyarakat miskin terhadap dampak iklim sangat bergantung pada sinergi kelembagaan dan inovasi lokal. Ia menegaskan, kebijakan adaptif perlu dirancang agar tidak hanya memberi bantuan, tetapi juga memberdayakan masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Maliki menggambarkan dua contoh lapangan yang mencerminkan bagaimana perubahan iklim memperparah kerentanan ekonomi masyarakat kecil dan bagaimana kelembagaan dapat menjadi solusi.
Kasus pertama datang dari kelompok masyarakat pembuat kerupuk yang menerima bantuan alat produksi dari Kementerian Sosial. “Mereka diberi blender, tapi ternyata tidak digunakan karena hasilnya membuat tekstur kerupuk jadi kurang enak. Yang justru mereka butuhkan adalah alat pengering, karena mereka jemur (kerupuk) lewat matahari, hujan itu tidak bisa diperkirakan,” ujarnya dalam diskusi Kemiskinan di Tengah Krisis Iklim: Membangun Ketangguhan Masyarakat Miskin dan Rentan, Kamis (23/10/2025).
Perubahan pola cuaca yang tidak menentu membuat proses pengeringan yang selama ini bergantung pada sinar matahari menjadi tidak efisien. Akibatnya, frekuensi produksi menurun dan pendapatan keluarga ikut berkurang. “Ini contoh sederhana bagaimana perubahan iklim menurunkan produktivitas rumah tangga miskin yang tidak punya kapasitas adaptasi,” katanya.
Contoh kedua datang dari Trenggalek, Jawa Timur, di mana kelompok petani jahe dan tanaman rempah berhasil mengatasi dampak cuaca ekstrem melalui kerja sama antar desa. “Beberapa desa membentuk BUMDes bersama dan mengumpulkan iuran untuk membangun dome pengering. Jadi meskipun hujan, jahe tetap bisa dikeringkan,” kata Maliki.
Menurutnya, inisiatif kelembagaan seperti ini menunjukkan bagaimana sinergi dan inovasi lokal mampu memperkuat daya tahan masyarakat terhadap perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan temuan berbagai lembaga riset, termasuk SMERU, yang menyoroti dua akar utama kerentanan masyarakat miskin: sosial ekonomi dan kelembagaan.
Bappenas kini mengarahkan kebijakan perlindungan sosial agar lebih adaptif terhadap risiko iklim dan bencana. “Kita punya banyak program perlindungan sosial, mulai dari beasiswa, subsidi listrik, LPG, hingga bantuan tunai. Tapi yang masih kurang adalah aspek pemberdayaan dan adaptasi,” ujar Maliki.
Ia menambahkan, setiap kali terjadi bencana, jumlah penduduk miskin selalu meningkat. “Penelitian SMERU menunjukkan setiap bencana pasti menambah jumlah penduduk miskin. Saat Covid-19, kita sudah berhasil menurunkan kemiskinan, tapi langsung naik lagi,” jelasnya.
Untuk itu, Bappenas tengah menyusun pendekatan berbasis bukti guna memperkuat koordinasi antar kementerian dan lembaga. Upaya ini mencakup integrasi data, sinkronisasi kebijakan, serta reformulasi program perlindungan sosial agar lebih responsif terhadap risiko lingkungan.
Selain fokus pada program sosial, Bappenas juga menganalisis dampak kenaikan permukaan laut terhadap masyarakat pesisir. “Dengan asumsi kenaikan satu meter saja, potensi masyarakat yang terdampak sangat besar. Jika mencapai lima meter, kita bicara bukan hanya masyarakat miskin dan rentan saat ini, tapi juga munculnya kelompok miskin baru,” ungkap Maliki.
Ia menegaskan, perubahan iklim kini bukan lagi persoalan jangka panjang, melainkan realitas yang sudah dirasakan langsung oleh masyarakat. “Kita sudah mendapat peringatan tentang suhu panas ekstrem di Jakarta beberapa waktu lalu. Ini bukan isu masa depan, ini isu sekarang,” ujarnya.