REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Penelitian yang didukung teknologi kecerdasan artifisial (AI) memproyeksikan target global untuk membatasi suhu bumi tidak melewati 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri "hampir pasti" tidak akan tercapai. Target mustahil tercapai meski dunia berhasil memangkas emisi gas rumah kaca.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters pada Selasa (10/12/2024) memprediksi suhu bumi pada tahun-tahun yang akan datang kemungkinan kembali memecahkan rekor. Para peneliti melaporkan peluang pemanasan global melewati 2 derajat Celsius di atas masa pra-industri mencapai 50 persen (peluang genap), bahkan jika dunia berhasil mencapai target nol-emisi pada tahun 2050.
Beberapa studi sebelumnya, termasuk penilaian otoritatif Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) menyimpulkan dekarbonisasi dengan kecepatan saat ini kemungkinan akan menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dari masa pra-industri.
"Dalam beberapa tahun terakhir kita telah melihat semakin cepatnya dampak perubahan iklim di seluruh dunia, mulai dari gelombang panas hingga hujan lebat dan cuaca ekstrem lainnya. Studi ini menunjukkan, bahkan dalam skenario terbaik, sangat mungkin kita akan menghadapi kondisi yang lebih parah daripada rata-rata terbaru," kata ilmuwan iklim dari Stanford Doerr School of Sustainability, yang merupakan salah satu penulis studi ini, Noah Diffenbaugh, seperti dikutip dari AZ o Ai, Rabu (11/12/2024).
Tahun ini diperkirakan melampaui 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global diperkirakan akan melebihi ambang 1,5 derajat Celsius di atas baseline pra-industri, sebelum manusia mulai membakar bahan bakar fosil untuk menggerakkan industri. Menurut penelitian terbaru ini, ada kemungkinan 90 persen tahun terpanas abad ini setidaknya 0,5 derajat Celsius lebih panas daripada 2023, bahkan dengan dekarbonisasi yang cepat.
Para peneliti menggunakan jaringan saraf konvolusional (CNN) yang dilatih mengatami pola iklim dan akumulasi emisi karbon dioksida, untuk menghasilkan prediksi puncak pemanasan yang sangat akurat, mengurangi ketidakpastian dalam model iklim sebelumnya.
View this post on Instagram
Untuk studi baru ini, Diffenbaugh dan rekannya, ilmuwan iklim dari Colorado State University, Elizabeth Barnes melatih jaringan saraf konvolusional (CNN) canggih untuk memprediksi seberapa tinggi suhu global dapat meningkat, tergantung pada kecepatan dekarbonisasi. Saat melatih AI, para peneliti menggunakan data suhu dan gas rumah kaca dari arsip besar simulasi model iklim.
Namun, untuk memprediksi pemanasan di masa depan, mereka memberikan data suhu historis yang sebenarnya sebagai input, bersama dengan beberapa skenario yang umum digunakan untuk emisi gas rumah kaca di masa depan.
"AI muncul sebagai alat yang kuat untuk mengurangi ketidakpastian dalam proyeksi masa depan. Model CNN kami menyempurnakan proyeksi iklim yang ada dengan belajar dari sumber data yang besar dan pengamatan dunia nyata," kata Barnes yang merupakan profesor ilmu atmosfer di Colorado State.
Studi ini menambah kumpulan penelitian yang semakin banyak yang menunjukkan dunia hampir pasti telah melewatkan kesempatan untuk mencapai tujuan yang lebih ambisius dari Perjanjian Iklim Paris 2015, di mana hampir 200 negara berjanji untuk menjaga pemanasan jangka panjang "jauh di bawah" 2 derajat sambil berupaya menghindari 1,5 derajat Celsius.
Makalah baru dari Barnes dan Diffenbaugh bersama Sonia Seneviratne dari ETH-Zurich, yang dipublikasikan di Environmental Research Letters, menunjukkan banyak wilayah, termasuk Asia Selatan, Mediterania, Eropa Tengah, dan bagian sub-Sahara Afrika, akan mengalami pemanasan lebih dari 3 derajat Celsius pada tahun 2060 dalam skenario di mana emisi terus meningkat—lebih cepat dari yang diperkirakan dalam studi sebelumnya.