Selasa 24 Dec 2024 15:39 WIB

Akselerasi Target EBT Indonesia, Perlu Kolaborasi Pemerintah dan Swasta

Menteri Keuangan Chatib Basri keterbatasan ruang fiskal jadi tantangan EBT

Rep: Dian Fath/ Red: Intan Pratiwi
Co-Chair of the Pandemic Fund Chatib Basri, kiri, berswafoto dengan Menteri Keuangan A.S. Janet Yellen, kanan, dan Bendahara Australia Jim Chalmers selama Peluncuran Pandemic Fund2 pada Pertemuan Menteri Kesehatan dan Keuangan Bersama G20 ke-2 menjelang G20 KTT pemimpin, di Nusa Dua, Bali, Indonesia, Minggu, 13 November 2022.
Foto: AP Photo/Dita Alangkara
Co-Chair of the Pandemic Fund Chatib Basri, kiri, berswafoto dengan Menteri Keuangan A.S. Janet Yellen, kanan, dan Bendahara Australia Jim Chalmers selama Peluncuran Pandemic Fund2 pada Pertemuan Menteri Kesehatan dan Keuangan Bersama G20 ke-2 menjelang G20 KTT pemimpin, di Nusa Dua, Bali, Indonesia, Minggu, 13 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025, sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2024. Dengan realisasi bauran EBT yang baru mencapai 13,09 persen pada 2023, keterbatasan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi hambatan utama.

Menurut mantan Menteri Keuangan Chatib Basri keterbatasan ruang fiskal mempersulit pemerintah untuk memenuhi kebutuhan investasi pembangunan pembangkit listrik EBT. PLN, sebagai operator utama, juga tidak dapat sepenuhnya menanggung beban tersebut tanpa melakukan pinjaman yang signifikan. Di sinilah peran strategis Independent Power Producer (IPP) menjadi solusi.

"Kalau PLN harus membiayai sebagian besar, dia harus pinjam. Di situ balancing-nya IPP. Melalui proyek-proyek IPP yang bersumber dari investasi swasta, pemerintah bisa mengalokasikan APBN untuk sektor lain," jelas Chatib, Selasa (24/12/2024).

Pemerintah bersama PT PLN (Persero) sedang menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035. Rencana ini akan mengoptimalkan kerja sama dengan IPP dalam membangun infrastruktur pembangkit listrik EBT. IPP tidak hanya menjadi mitra strategis dalam pengadaan listrik berkelanjutan, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas fiskal dengan menarik investasi swasta melalui instrumen seperti green bond.

Dengan kebutuhan investasi infrastruktur EBT yang diperkirakan mencapai 4,2 miliar dolar AS (setara Rp 22,78 triliun) hingga 2025, keterlibatan sektor swasta menjadi penting. Selain mendukung stabilitas fiskal, IPP juga diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi mutakhir yang lebih efisien dan menekan biaya produksi listrik.

Kolaborasi pemerintah dan IPP tidak hanya mendorong keberlanjutan energi, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Proyek-proyek pembangkit listrik akan menciptakan ribuan lapangan kerja baru, merangsang pertumbuhan rantai pasok industri, serta menarik investasi di sektor manufaktur energi terbarukan seperti produksi sel surya dan turbin angin.

Lebih jauh, energi bersih yang lebih murah dalam jangka panjang berpotensi menurunkan tarif listrik untuk konsumen, sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. "Untuk mengejar target pertumbuhan tersebut, pemerintah membutuhkan suplai energi yang besar, dan IPP dapat memainkan peran vital," tambah Chatib.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement