Selasa 31 Dec 2024 11:29 WIB

Perusahaan Migas Eropa Kurangi Investasi di Sektor EBT

Geopolitik dan tingginya harga minyak bikin perusahaan migas kurangi proyek EBT

Proyek Train Tangguh 3 milik British Petroleum (BP) di Teluk Bintuni, Papua Barat yang diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Foto: Republika/Intan Pratiwi
Proyek Train Tangguh 3 milik British Petroleum (BP) di Teluk Bintuni, Papua Barat yang diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo.

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Perusahaan migas besar Eropa memilih untuk kembali fokus pada minyak dan gas sepanjang 2024. ExxonMobil, Chevron dan bahkan BP membatalkan beberapa rencana investasi mereka ke proyek energi bersih.

Dilansir dari Reuters, langkah para perusahaan migas ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2025.

Perubahan strategi ini terjadi di tengah perlambatan kebijakan energi bersih secara global dan penundaan target iklim akibat lonjakan biaya energi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.

Investasi perusahaan migas sepanjang tahun 2024 terlihat fokus pada minyak dan gas dibandingkan proyek energi bersih. Saham perusahaan seperti ExxonMobil dan Chevron menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan BP dan Shell, yang sebelumnya berinvestasi besar di sektor energi bersih.

Pada 2024, BP mengumumkan rencana untuk melepas sebagian besar proyek tenaga angin lepas pantai ke perusahaan patungan dengan perusahaan Jepang, JERA. Sementara itu, Shell menghentikan sebagian besar investasi di proyek tenaga angin lepas pantai dan melemahkan target pengurangan karbonnya.

Equinor, perusahaan energi milik negara Norwegia, juga mengambil langkah serupa dengan mengurangi belanja modal untuk energi terbarukan.

Menurut analis Accela Research, Rohan Bowater, gangguan geopolitik seperti invasi Ukraina dan tingginya harga minyak telah mengurangi insentif bagi CEO perusahaan energi untuk memprioritaskan transisi energi rendah karbon. Data menunjukkan BP, Shell, dan Equinor telah mengurangi pengeluaran untuk energi rendah karbon sebesar 8% pada 2024.

Namun, Shell menyatakan masih berkomitmen untuk menjadi perusahaan dengan emisi nol bersih pada 2050 dan akan terus berinvestasi dalam transisi energi. Sementara Equinor menyoroti tantangan seperti inflasi, kenaikan biaya, dan hambatan rantai pasokan sebagai alasan perlambatan investasi mereka.

Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun yang penuh gejolak bagi sektor energi global senilai 3 triliun dolar AS. Potensi kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih membawa kekhawatiran akan pembatalan kebijakan energi hijau yang telah diterapkan Presiden Joe Biden. Trump juga berjanji akan menarik AS dari komitmen iklim global.

Sementara itu, permintaan minyak di China—importir minyak mentah terbesar dunia—menghadapi risiko perlambatan seiring stagnasi ekonomi.

Di sisi lain, OPEC dan sekutunya terus menunda pencabutan pembatasan pasokan minyak, sementara negara-negara seperti AS meningkatkan produksi minyak mereka.

Perubahan arah strategi energi global ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi bersih masih memerlukan dorongan politik yang kuat, komitmen jangka panjang, dan stabilitas ekonomi global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement