REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode 2025-2029, setelah menyelesaikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045. Perencana Ahli Muda Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Bappeda, Shinta Andriyani mengatakan, RPJMD ini mempertimbangkan beberapa kebijakan, termasuk analisa ekonomi dan rencana pembangunan berkelanjutan.
Shinta mengungkapkan bahwa Jawa Barat menghadapi tantangan serius akibat perubahan iklim. Ia mengatakan suhu malam di Bandung, yang dulunya berkisar 19 derajat Celsius, kini meningkat menjadi 23-24 derajat Celsius. Hal ini menunjukkan dampak nyata dari krisis iklim. Fenomena ini disertai dengan peningkatan frekuensi kekeringan dan banjir di berbagai wilayah, yang mengancam ketahanan pangan dan air.
Data yang diperoleh dari Bappenas menunjukkan jika tidak ada intervensi, emisi gas rumah kaca di Jawa Barat diproyeksikan mencapai 2,2 miliar ton CO2 ekuivalen pada tahun 2025, dan meningkat menjadi 8,1 miliar ton pada tahun 2045. Sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi, mencapai 79,71 persen, diikuti oleh sektor transportasi yang menyumbang 14,67 persen. Oleh karena itu, Shinta menekankan perlunya strategi yang efektif untuk mereduksi emisi dari sektor energi.
"Artinya memang sektor energi ini menjadi salah satu kunci bagaimana kita memang harus bisa menurunkan, mereduksi sehingga kita tidak dihadapkan dengan krisis iklim yang lebih parah lagi ke depan," kata Shinta dalam seminar publik "Membangun Sinergi Pusat dan Daerah dalam Mengakselerasi Pemanfaatan Energi Terbarukan dan Mineral Transisi yang Adil", Kamis (9/1/2025).
Dalam konteks ini, emisi gas rumah kaca dari sektor energi menjadi salah satu indikator penting yang harus diperhatikan. Bappeda Jawa Barat melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, termasuk melalui Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GKR) yang ditargetkan pada tahun 2030.
Hingga saat ini, Jawa Barat telah berhasil menurunkan 10 juta ton CO2 ekuivalen dari baseline tahun 2030. Namun, tantangan yang dihadapi untuk mencapai target 2045 sangat besar, dengan kebutuhan untuk menurunkan sekitar 2,1 miliar ton CO2 ekuivalen.
Shinta menegaskan pencapaian ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan masyarakat. "Kami perlu dukungan dari semua pihak untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Keterlibatan masyarakat dan pelaku industri sangat penting dalam upaya ini," tambahnya.
Dalam upaya meningkatkan ketahanan energi, Bappeda juga memetakan lokasi prioritas untuk pengembangan energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga panas bumi dan waduk untuk pembangkit listrik tenaga air. Shinta menyebutkan pengembangan energi terbarukan skala kecil dan menengah menjadi fokus utama, sementara untuk proyek besar, dukungan dari pemerintah pusat sangat diperlukan.
Jawa Barat juga melakukan berbagai inisiatif untuk transisi energi, seperti pengolahan sampah menjadi energi, pengembangan transportasi berbasis listrik, dan pemanfaatan energi terbarukan di gedung-gedung pemerintahan dan sekolah. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama terkait ketergantungan pada energi fosil dan pemahaman masyarakat tentang energi terbarukan.
"Terutama juga tadi kita masih bergantung terhadap energi fosil. Kami sebenarnya di Jawa Barat sudah melakukan berbagai upaya untuk transisi energi ini. Yang satu terkait dengan persampahan, kami coba mengolah sampah ini dalam cakupan persampahan regional menjadi energi, yang satu di Legok Nangka di Kabupaten Bandung menjadi listrik, dan satu di Lulut Nambo menjadi Refused-Derived Fuel (RDF)," ungkap Shinta.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, Bappeda Provinsi Jawa Barat berkomitmen untuk terus berupaya mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam RPJPD. Melalui kolaborasi yang kuat dan kebijakan yang tepat, diharapkan Jawa Barat dapat menjadi contoh dalam menghadapi krisis iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan.