REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) mengungkapkan krisis air tanah di Indonesia mencapai titik kritis. Dampak dari krisis ini semakin meresahkan, terutama di daerah pesisir dan perkotaan yang padat dengan aktivitas industri.
Koordinator Nasional KRuHA Muhammad Reza menegaskan penggunaan air tanah yang tidak terkendali oleh korporasi besar menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan dan memperparah krisis air, sementara masyarakat kecil sering kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil. Reza menjelaskan pengambilan air tanah secara berlebihan oleh korporasi menyebabkan penurunan muka tanah yang drastis di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
"Penggunaan air tanah yang tidak terkendali oleh korporasi besar menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan dan krisis air yang lebih parah, namun yang seringkali terjadi adalah kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang terpaksa menggunakan air tanah karena tidak ada alternatif lain dan buruknya sistem layanan publik terkait air," kata Reza dalam pernyataannya kepada Republika.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada ketersediaan air bersih, tetapi juga merusak ekosistem. Ekstraksi air tanah yang berlebihan menyebabkan kualitas dan kuantitas air tanah menurun, bahkan dalam banyak kasus, air tanah menjadi payau akibat intrusi air laut. "Sementara itu, masyarakat kecil yang menggunakan air tanah dalam jumlah lebih sedikit malah dihukum dengan berkurangnya akses terhadap air bersih," tambah Reza.
Lebih lanjut, Reza mengungkapkan pengambilan air tanah yang berlebihan juga berkontribusi pada penurunan muka tanah yang lebih parah, yang memperburuk masalah banjir rob, terutama di wilayah pesisir. "Banjir yang disebabkan oleh penurunan muka tanah dan kenaikan air laut semakin merusak lingkungan dan membahayakan kehidupan warga, sementara korporasi terus menghisap sumber daya alam tanpa tanggung jawab," jelasnya.
Reza juga menyoroti krisis sosial yang muncul akibat ketidakadilan air. Ketergantungan pada air tanah oleh korporasi besar menciptakan ketimpangan yang tajam antara masyarakat kecil dan industri.
Reza mengatakan masyarakat kecil yang bergantung pada air tanah untuk kebutuhan sehari-hari tidak memiliki alternatif yang memadai dan menjadi korban dari kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi. "Ketidakadilan ini harus diatasi dengan kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan dan keadilan sosial," tegasnya.
Dalam menghadapi krisis ini, Reza menekankan solusi yang paling mendesak adalah penertiban ketat penggunaan air tanah oleh korporasi besar. "Warga kecil tidak boleh dihukum atau dibebani dengan kebijakan yang merugikan mereka, karena mereka tidak memiliki akses pada alternatif yang sama. Pemerintah harus lebih fokus pada korporasi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyalahgunaan sumber daya alam ini," katanya.
Reza menambahkan solusi teknis apapun tanpa tindakan politik tidak akan mengeluarkan Indonesia dari krisis ini. "Urusan air tidak bisa dilepaskan dari keputusan-keputusan politik strategis," katanya.