Rabu 05 Mar 2025 19:57 WIB

KLH Ingatkan Industri Kelola Sampah Secara Berkelanjutan

Produsen diharapkan dapat menjalankan EPR.

Rep: Mgrol156/ Red: Satria K Yudha
Dua pekerja mengoperasikan mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, Selasa (25/2/2025). RDF Plant Rorotan yang dibangun dengan biaya Rp1,28 triliun tersebut diproyeksikan mampu mengolah sampah sebanyak 2.500 ton per hari dikonversi menjadi bahan bakar alternatif sehingga mengurangi beban TPST Bantar Gebang.
Foto: ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
Dua pekerja mengoperasikan mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, Selasa (25/2/2025). RDF Plant Rorotan yang dibangun dengan biaya Rp1,28 triliun tersebut diproyeksikan mampu mengolah sampah sebanyak 2.500 ton per hari dikonversi menjadi bahan bakar alternatif sehingga mengurangi beban TPST Bantar Gebang.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sektor industri memiliki peran krusial dalam mendukung pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan di tengah meningkatnya volume sampah di Indonesia. Dengan regulasi yang semakin ketat dan kesadaran lingkungan yang terus berkembang, perusahaan dituntut untuk berkontribusi dalam mengurangi limbah, menerapkan prinsip ekonomi sirkular, serta berinovasi dalam sistem pengolahan sampah. 

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (LH) Novrizal menegaskan, pengelolaan sampah harus dilakukan melalui kolaborasi yang luas, tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat serta berbagai sektor industri. Salah satu kebijakan yang telah diatur dalam undang-undang adalah tanggung jawab produsen atau yang dikenal sebagai Extended Producer Responsibility (EPR).

"Regulasi ini mengharuskan produsen untuk bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari kemasan dan produk mereka yang berpotensi menjadi sampah. Beberapa waktu lalu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol telah mengirimkan surat kepada para produsen untuk menegaskan komitmen mereka dalam melaksanakan EPR," kata Novrizal dalam talkshow "Masa Depan Pengelolaan Sampah: Era Penghentian Open Dumping" yang disiarkan di youtube Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (5/3/2025).

Dengan adanya kolaborasi yang lebih besar dan komitmen dari produsen serta industri lainnya yang menghasilkan produk atau kemasan, pengelolaan sampah diharapkan dapat lebih efektif. Jika semua pihak menjalankan tanggung jawabnya, maka permasalahan sampah di Indonesia dapat terselesaikan dengan lebih baik.

Produsen yang menerapkan EPR akan memperoleh insentif khusus. Baru-baru ini, permasalahan sampah plastik di Bali menunjukkan banyaknya kemasan dari berbagai produsen yang mencemari lingkungan.

Pemerintah berencana memberikan insentif kepada produsen yang memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan mematuhi peraturan sebagai bentuk apresiasi yang akan diumumkan ke publik. Sebaliknya, bagi produsen yang tidak taat aturan, informasi tersebut juga akan disampaikan kepada masyarakat.

Saat ini, berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) telah melakukan audit terhadap sampah di laut dan pesisir, serta mulai mempublikasikan hasil temuan mereka. Pemerintah mendukung inisiatif ini dengan menerapkan sistem punish and reward untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan pengelolaan sampah. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan segera menghentikan praktik open dumping di TPA masing-masing.

Di Indonesia, banyak daerah yang telah menerapkan praktik pengelolaan sampah yang baik. Di kota-kota besar seperti Surabaya, teknologi canggih seperti waste to energy telah digunakan untuk mengolah sampah menjadi energi. Sementara itu, di daerah yang lebih kecil, gerakan masyarakat dalam pengelolaan sampah juga berkembang pesat, termasuk penerapan bank sampah dan meningkatnya jumlah social ecopreneur.

Daerah-daerah ini dapat menjadi contoh bagi wilayah lain. Misalnya, untuk mempelajari teknologi Refuse Derived Fuel (RDF), Cilacap bisa menjadi referensi. Selain itu, di Bali juga terdapat gerakan social ecopreneur yang mampu mandiri dalam menjalankan inisiatifnya.

Salah satu konsep menarik yang berkembang adalah model kerja sama B2B, seperti waste to credit, di mana industri yang menghasilkan kemasan dapat bermitra dengan penyedia jasa pengelolaan sampah. Pendekatan semacam ini perlu terus didorong agar pengelolaan sampah semakin berkelanjutan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement