REPUBLIKA.CO.ID, PARIS — Penelitian terbaru mengungkapkan sejumlah negara diduga melebih-lebihkan kemampuan hutan mereka dalam menyerap karbon. Praktik ini berisiko memperlambat upaya nyata mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Laporan lembaga think-tank Climate Analytics yang dirilis pekan lalu, (23/4/2025), menyoroti lemahnya aturan internasional dalam menghitung serapan karbon dari hutan dan lahan. Celah ini memungkinkan negara-negara memanipulasi angka emisi dalam laporan resmi mereka.
“Tanpa aturan ketat, negara-negara hanya mempermainkan sistem,” ujar Claudio Forner, salah satu penulis laporan Climate Analytics.
Penyerapan karbon oleh hutan dinilai kompleks dan belum sepenuhnya dipahami, terutama dalam kondisi pemanasan global yang terus meningkat. Meski demikian, banyak negara tetap memasukkan asumsi serapan karbon hutan dalam rencana iklim nasional yang harus diserahkan ke PBB sebelum Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil, November mendatang.
Climate Analytics memperingatkan, asumsi yang terlalu optimistis terhadap kemampuan hutan dapat menutupi skala dan kecepatan pemangkasan emisi yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri.
Australia, misalnya, dalam rencana iklim terbarunya sangat bergantung pada hutan untuk mengurangi jejak karbonnya, langkah yang menurut Climate Analytics bisa mengurangi upaya pemangkasan emisi nyata hingga 10 persen.
Sementara, Brasil berkomitmen menurunkan emisi sebesar 59 hingga 67 persen di bawah level 2005 pada 2035. Namun, negara itu tidak secara transparan menjelaskan kontribusi hutan terhadap pencapaian target tersebut.
Climate Analytics menilai skema seperti ini berpotensi membuat emisi Brasil justru tetap meningkat dua kali lipat.
“Kalau hutan digunakan untuk mengompensasi semuanya, emisi dari sektor energi tetap akan bertumbuh,” kata Forner.
Lebih jauh, Forner menegaskan bahwa meskipun hutan penting dalam mitigasi perubahan iklim, serapan karbonnya tidak boleh digunakan sebagai “penyeimbang” emisi dari energi dan industri. Apalagi, karbon yang tersimpan dalam pohon bisa kembali lepas ke atmosfer akibat kebakaran hutan atau gangguan alam lainnya.
Aktivitas manusia, seperti deforestasi dan degradasi lahan, juga memperlemah kemampuan hutan untuk menyerap karbon. “Kalau para ilmuwan saja belum bisa memahami perilaku penyerapan karbon di masa depan, saya pastikan sebagian besar pemerintah juga tidak memahaminya,” tegas Forner.
Ia memperingatkan, jika negara-negara terus mendasarkan perhitungan emisi pada asumsi serapan karbon yang keliru, akan terjadi defisit besar antara karbon yang dilepaskan dan yang berhasil diserap.
Climate Analytics memperkirakan ketidakpastian ini dapat mencapai 3 miliar metrik ton karbon dioksida — setara dengan total emisi tahunan India, negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia.