Selasa 13 May 2025 12:00 WIB

Dampak Perubahan Iklim di Afrika Semakin Ekstrem

Bencana iklim memicu memaksa warga mengungsi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Perubahan iklim (ilustrasi). Dampak perubahan iklim di Afrika Utara semakin ekstrem.
Foto: Freepik
Perubahan iklim (ilustrasi). Dampak perubahan iklim di Afrika Utara semakin ekstrem.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan perubahan iklim telah mempengaruhi seluruh aspek sosial-ekonomi di Afrika. Pemanasan global memperparah kelaparan, merusak stabilitas, dan mendorong jutaan orang mengungsi.

WMO mencatat suhu rata-rata permukaan di Afrika sepanjang 2024 mencapai 0,86 derajat Celsius lebih panas dibandingkan rata-rata tahun 1991–2020. Afrika Utara mengalami pemanasan tertinggi, dengan kenaikan suhu mencapai 1,28 derajat Celsius dibandingkan periode acuan yang sama.

Baca Juga

Peningkatan ini menjadikan Afrika Utara sebagai wilayah yang paling cepat mengalami pemanasan di benua itu. Sementara itu, suhu permukaan laut di sekitar Afrika juga mencatat rekor tertinggi dalam sejarah pengamatan.

“Terutama lonjakan suhu permukaan air laut yang diobservasi di Samudera Atlantik dan Laut Tengah,” tulis WMO dalam laporan yang dikutip dari situs resmi PBB, Selasa (13/5/2025).

Laporan itu menyebut hampir seluruh perairan di sekitar Afrika mengalami gelombang panas laut ekstrem, khususnya di wilayah Atlantik. Kepala WMO Celeste Saulo memperingatkan bahwa perubahan iklim telah menjadi krisis yang mendesak dan terus memburuk di seluruh benua Afrika.

“Beberapa negara dilanda banjir besar yang disebabkan curah hujan berlebih, sementara wilayah lain mengalami kekeringan dan kelangkaan air,” ujarnya.

WMO mengungkapkan, bencana iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kekeringan telah memaksa lebih dari 700 ribu orang di Afrika mengungsi. Padahal sebagian besar pemanasan global disebabkan oleh emisi dari negara-negara maju akibat pembakaran bahan bakar fosil.

Fenomena El Nino yang berlangsung dari 2023 hingga awal 2024 turut memengaruhi pola hujan di seluruh Afrika. Di Nigeria utara, 230 orang tewas dalam banjir yang menerjang Maiduguri, ibu kota Negara Bagian Borno, pada September lalu.

Bencana itu juga menyebabkan 600 ribu orang kehilangan tempat tinggal, merusak rumah sakit, serta mencemari sumber air di lokasi-lokasi pengungsian. Di Afrika Barat, hujan ekstrem menaikkan permukaan air dan berdampak pada empat juta jiwa.

Sementara itu, negara-negara di Afrika bagian selatan seperti Malawi, Zambia, dan Zimbabwe mengalami kekeringan terparah dalam dua dekade terakhir. Produksi sereal di Zambia dan Zimbabwe anjlok hingga 43 persen dan 50 persen dibanding rata-rata lima tahun terakhir.

WMO juga menyoroti bahaya gelombang panas yang kini mengancam kesehatan dan pembangunan di Afrika. Lembaga itu mencatat bahwa dekade terakhir adalah periode terpanas dalam sejarah.

Berdasarkan data sementara, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas atau kedua terpanas sepanjang sejarah. Dampak ekstrem dirasakan di Sudan Selatan, yang sempat menutup sekolah pada Maret lalu akibat suhu mencapai 45 derajat Celsius.

Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) melaporkan, sepanjang 2024 setidaknya 242 juta siswa di seluruh dunia tidak masuk sekolah—sebagian besar di antaranya berada di wilayah sub-Sahara Afrika.

Selain sektor pendidikan, kenaikan suhu juga memperparah krisis air dan pangan di Afrika, terutama di kawasan Afrika Utara yang menjadi wilayah paling terdampak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement