Kamis 15 May 2025 15:00 WIB

Energi Terbarukan Dorong Penurunan Emisi Karbon Cina

Penurunan emisi terjadi di saat terjadi peningkatan energi listrik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Panel sel surya tersusun rapi di lapangan pembangkitan listrik tenaga surya berteknologi fotovoltaik di Prefektur Hainan, Provinsi Qinghai, China, Selasa (12/7/2022).
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Panel sel surya tersusun rapi di lapangan pembangkitan listrik tenaga surya berteknologi fotovoltaik di Prefektur Hainan, Provinsi Qinghai, China, Selasa (12/7/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Cina mencatat penurunan emisi karbon pada kuartal pertama 2025 di tengah lonjakan permintaan energi. Penurunan ini didorong peningkatan signifikan penggunaan energi terbarukan.

Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Cina telah berkomitmen mencapai puncak emisi pada 2030 dan mencapai netral karbon pada 2060. Investasi besar-besaran dalam pembangkit listrik tenaga surya dan angin dalam beberapa tahun terakhir mulai menunjukkan dampaknya.

Menurut analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Lauri Myllyvirta, emisi karbon Cina turun 1,6 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal pertama 2025. Jika dihitung sejak Maret 2024, emisi Cina tercatat turun 1 persen dalam setahun.

Penurunan kali ini cukup signifikan karena terjadi di tengah lonjakan konsumsi listrik. Laporan Carbon Brief menyebut permintaan listrik Cina naik 2,5 persen pada kuartal pertama. Sebelumnya, penurunan emisi hanya terjadi saat kebijakan penutupan akibat Covid-19 pada 2022 menurunkan permintaan energi.

“Pertumbuhan pembangkit energi bersih kini melampaui pertumbuhan rata-rata permintaan listrik, baik jangka pendek maupun panjang. Ini secara langsung menekan konsumsi bahan bakar fosil,” ujar Myllyvirta, seperti dikutip dari Bangkok Post, Kamis (15/5/2025).

Ia menyebut ini merupakan kali pertama penurunan emisi di Cina dipicu secara langsung oleh penetrasi energi terbarukan. Emisi dari sektor kelistrikan turun 5,8 persen, cukup untuk menutupi lonjakan emisi dari sektor baja dan kimia yang masih banyak bergantung pada batu bara.

Namun, laporan tersebut memperingatkan bahwa tren positif ini bisa berbalik. Jika pemerintah Cina memilih merangsang sektor-sektor intensif karbon sebagai respons terhadap perang dagang dengan Amerika Serikat, maka emisi berisiko meningkat kembali.

Meski mengalami penurunan, Cina dinilai masih jauh dari jalur yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan intensitas karbon sebesar 65 persen pada 2030 dari tingkat tahun 2005. Intensitas karbon mengukur jumlah emisi karbon per satuan Produk Domestik Bruto (PDB).

Target itu merupakan bagian dari komitmen Cina dalam Perjanjian Paris yang bertujuan mengurangi dampak krisis iklim global.

“Jalur emisi karbon di masa depan masih belum pasti, tergantung pada dinamika di tiap sektor ekonomi dan respons kebijakan terhadap tekanan eksternal seperti tarif dagang AS,” kata Myllyvirta.

Meski demikian, Cina tetap dianggap sebagai pemimpin penting dalam agenda perubahan iklim global. Posisi ini kontras dengan kebijakan Presiden AS saat ini, Donald Trump, yang kembali menarik Amerika dari berbagai kesepakatan iklim dan mendorong penggunaan bahan bakar fosil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement