Jumat 30 May 2025 17:36 WIB

Gubernur Jateng Ingin Setiap Desa Punya TPST

Pendekatan desentralistik bisa menjadi solusi atasi sampah.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Satria K Yudha
Pekerja memanen maggot di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE) Banyumas, Desa Wlahar Wetan, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (11/10/2023).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja memanen maggot di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE) Banyumas, Desa Wlahar Wetan, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (11/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mendorong pengelolaan sampah berbasis desa sebagai solusi krisis sampah yang melanda wilayahnya. Menurutnya, pendekatan desentralistik bisa menjadi jalan keluar dari persoalan yang semakin kompleks, khususnya di daerah perkotaan.

Hal itu disampaikan Luthfi saat meninjau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Penggarit, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Rabu (28/5/2025). Ia menilai pola penanganan sampah di desa tersebut bisa menjadi contoh untuk seluruh desa di Jateng.

“Kita coba dorong pengolahan sampah berbasis desa. Di Desa Penggarit ini sudah menerapkan penanganan sampah basis desa. Artinya, satu desa ini sudah dikelola sendiri sampahnya,” ujar Luthfi.

Ia yakin, jika 8.563 desa di Jateng memiliki TPST seperti Desa Penggarit, persoalan sampah akan tertangani secara signifikan. “Pengelolaan ini akan kita jadikan role model, nanti akan kita diskusikan dengan dinas. Kalau desa saja sudah melaksanakan ini, selesai itu (masalah sampah),” katanya.

Kepala Desa Penggarit, Imam Wibowo, menjelaskan TPST di wilayahnya dibangun menggunakan dana desa (APBDes) dengan total anggaran sekitar Rp 400 juta untuk mesin dan shelter. Setiap hari, TPST ini mampu mengolah sampah dari tiga unit dump truck.

“Sampah yang masuk ke sini sudah tidak punya nilai ekonomi, lalu diproses. Kemudian ada yang khusus dari sampah organik seperti sisa pakan ternak dan sisa kotoran kandang ayam, diolah di sini nanti jadi biokarbon,” ujar Imam.

Hasil olahan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk produksi pupuk organik, pengurai amoniak, dan produk lain yang berguna bagi pertanian lokal.

Sebulan lalu, Luthfi secara terbuka menyatakan bahwa Jawa Tengah tengah menghadapi darurat sampah. Ia mengungkapkan pembentukan tim khusus yang ditugaskan menyiapkan peta jalan (roadmap) dan model penanganan sampah dalam waktu tiga bulan.

“Sampah kita bahas. Kita sudah bentuk tim, minimal dalam tiga bulan, kita sudah punya roadmap untuk darurat sampah di daerah kita,” kata Luthfi dalam Musrenbangwil Eks Karesidenan Semarang Raya di Salatiga, 22 April 2025.

Menurutnya, penanganan sampah harus menjadi prioritas, terutama karena alokasi anggaran di tingkat kabupaten/kota masih minim. “Wilayahnya Pak Ngesti (Bupati Semarang) itu salah satu yang menjadi perhatian provinsi. Saya lihat ternyata anggaran untuk sampah di kabupaten/kota itu kecil,” ujarnya.

Luthfi menyebutkan sejumlah opsi penanganan seperti teknologi refuse derived fuel (RDF) untuk kapasitas di bawah 200 ton per hari, serta pengelolaan sampah skala regional untuk kapasitas hingga 1.000 ton per hari. Sejumlah investor dari dalam dan luar negeri, katanya, juga sudah menyampaikan minat untuk mendukung pengolahan sampah di Jateng.

Namun demikian, Luthfi menegaskan bahwa semua skema tersebut masih akan dikaji oleh tim yang telah dibentuk. Ia mengakui bahwa infrastruktur pengelolaan sampah, khususnya di kota-kota, masih sangat terbatas.

“Rata-rata di pemerintah kota itu tidak ada pembuangan sampah. Kota Pekalongan, Kota Solo, Kota Magelang, yang kota-kota ngebuangin sampah, berantem dengan kabupaten sampingnya, Pak. Nah ini problem yang sangat krusial,” kata Luthfi saat Forum Senayan Peduli Jawa Tengah, 9 April 2025.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement