REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL — Di tengah tekanan politik dalam negeri, Uni Eropa mempertimbangkan opsi melonggarkan target pengurangan emisi karbon tahun 2040. Salah satu skema yang dibahas adalah pembelian kredit karbon dari luar negeri, termasuk dari negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Brasil.
Rencana ini muncul seiring makin kuatnya penolakan sejumlah negara anggota atas target pemangkasan emisi sebesar 90 persen dari level 1990 yang dirancang Komisi Eropa dan akan diajukan pada Juli 2025. Sebagai gantinya, Brussel mengkaji kemungkinan memperbolehkan negara anggota membeli kredit karbon internasional untuk menutup kekurangan pencapaian target.
Kredit karbon dari proyek-proyek konservasi hutan dan transisi energi di Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu sumber potensial. Namun langkah ini menuai peringatan keras dari lembaga penasihat iklim independen Uni Eropa, European Scientific Advisory Board on Climate Change (ESABCC).
“Menggunakan kredit karbon internasional untuk memenuhi target, bahkan hanya sebagian, dapat merusak pembuatan nilai domestik dengan mengalihkan sumber dari yang diperlukan untuk mentransformasi perekonomian Uni Eropa,” tulis ESABCC dalam laporan resminya yang dirilis Senin (2/6/2025).
Pembelian kredit karbon artinya negara-negara Uni Eropa bisa mengklaim pengurangan emisi dengan mendanai proyek penanaman pohon, konservasi hutan, atau transisi energi di negara lain, alih-alih memangkas emisi dari industri domestiknya.
Indonesia, dengan potensi hutan tropis dan proyek hijau yang berkembang, menjadi salah satu pasar paling menarik dalam perdagangan karbon global.
Namun, sejarah perdagangan karbon menunjukkan banyak risiko. Uni Eropa sendiri telah melarang kredit karbon internasional masuk ke dalam sistem pasar karbonnya sejak 2013, menyusul masuknya kredit murah yang minim dampak lingkungan dan menjatuhkan harga karbon secara drastis.
Meski begitu, tekanan politik dan ekonomi mendorong munculnya kembali wacana ini. Pendukung skema ini menilai perdagangan karbon lintas negara penting untuk membantu pendanaan proyek hijau di negara berkembang. Tapi ESABCC menegaskan pendekatan semacam itu berisiko menunda transformasi energi domestik di Eropa sendiri.
Lembaga tersebut tetap pada rekomendasi tahun 2023 bahwa Uni Eropa perlu memangkas 90 hingga 95 persen emisi karbon pada 2040. Target itu dianggap realistis dan sejalan dengan komitmen global untuk membatasi kenaikan suhu bumi.
ESABCC juga menyatakan transformasi menyeluruh di semua sektor, termasuk industri, transportasi, dan energi, harus menjadi prioritas. Tidak hanya demi iklim, tetapi juga demi modernisasi industri, peningkatan kesehatan publik, dan penguatan ketahanan energi Eropa agar tidak lagi bergantung pada impor bahan bakar fosil.