Selasa 24 Jun 2025 08:59 WIB

Program Perhutanan Sosial Sentuh 192 Ribu Orang

Seluas 6,4 juta hektare hutan telah dikelola rakyat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Warga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Tuan Krab menyiapkan jerigen untuk budidaya pembesaran kepiting bakau di Hutan mangrove Teluk Pangpang, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (27/10/2023).
Foto: Antara/Budi Candra Setya
Warga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Tuan Krab menyiapkan jerigen untuk budidaya pembesaran kepiting bakau di Hutan mangrove Teluk Pangpang, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (27/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Program Perhutanan Sosial di Indonesia telah memberikan manfaat langsung bagi sekitar 192 ribu warga di sekitar kawasan hutan. Sejak diluncurkan, program ini menjadi bagian dari upaya nasional dalam mengurangi kemiskinan sekaligus melestarikan lingkungan.

Proyek bertajuk Strengthening of Social Forestry (SSF) ini digagas pemerintah Indonesia bersama Global Environment Facility (GEF) melalui World Bank. Program ini memberikan akses legal kepada masyarakat lokal dan adat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, membuka peluang ekonomi baru di wilayah pedesaan.

Baca Juga

Hingga akhir 2023, hampir 10.000 izin Perhutanan Sosial telah diterbitkan dengan cakupan area seluas 6,4 juta hektare. Dari jumlah itu, 251.000 hektare di antaranya merupakan hutan adat. Sejak dimulai pada 2015, program ini menargetkan pengelolaan hutan negara seluas 12,7 juta hektare.

Dampaknya dirasakan oleh 192.582 jiwa, di mana 82 persen penerima manfaat adalah perempuan. Pemberdayaan ini tak hanya meningkatkan kesejahteraan, tapi juga memperkuat peran masyarakat dalam menjaga hutan sebagai benteng iklim.

“Program ini penting karena akan mendorong salah satu Asta Cita yaitu ketahanan pangan, energi, dan air. Alhamdulillah, dari Kabupaten Lima Puluh Kota bahkan sudah bisa diekspor 8 ton kopi ke Dubai,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Mahfudz dalam seremoni pencapaian SSF di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Kementerian Kehutanan menyebut SSF sebagai percepatan pencapaian target Perhutanan Sosial nasional melalui penguatan akses legal masyarakat atas kawasan hutan di lokasi-lokasi prioritas dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).

Meski program menghadapi berbagai tantangan, Mahfudz menilai capaian yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadi indikator penting keberhasilan.

“Saya kira dalam perjalanannya SSF juga menghadapi tantangan yang luar biasa. Persoalan-persoalan di daerah, keadaan-keadaan kelompok masyarakat, tentu menjadi usaha-usaha yang terus dilakukan oleh SSF sehingga pada hari ini kita bisa melihat apa yang sudah dihasilkan kelompok-kelompok ini,” jelasnya.

Pencapaian ini turut dipamerkan dalam gelaran produk dari enam daerah lokasi proyek SSF, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat), Kabupaten Lampung Selatan (Lampung), Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat), serta Kabupaten Halmahera Barat (Maluku Utara). Produk lokal seperti kerajinan tangan, kopi, sambal, dan keripik menjadi sorotan dalam pameran.

Mahfudz berharap program ini dapat menjadi inspirasi bagi kelompok masyarakat lainnya di berbagai penjuru tanah air. “Harapannya dari program ini bisa memberikan pembelajaran kepada kelompok-kelompok lain,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement