REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melibatkan pemuka agama sebagai ujung tombak rehabilitasi 12,7 juta hektare lahan kritis hingga 2029. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk memitigasi bencana iklim yang terus meningkat akibat degradasi hutan dan krisis lingkungan.
Kepala Pusat Pengembangan Mitigasi dan Adaptasi Bencana Hidrometeorologi Kementerian Kehutanan, Wening Sri Wulandari, menyatakan bahwa kolaborasi dengan tokoh agama penting karena mereka memiliki pengaruh sosial dan moral yang kuat dalam masyarakat.
“Ketika hutan dipelihara dan lahan kritis direhabilitasi, kemampuan hutan menyerap air meningkat sehingga berkontribusi langsung pada pengurangan risiko banjir dan kekeringan,” ujar Wening saat memberikan pembekalan ilmiah kepada pemuka agama dan komunitas keagamaan di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Pembekalan ini diikuti oleh 450 pemuka agama dan anggota komunitas keagamaan dari berbagai daerah. Kegiatan tersebut digelar oleh Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan BMKG, BNPB, BRIN, Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, dan CIFOR-ICRAF. Tujuannya adalah memperkuat kapasitas peserta dalam menyampaikan isu deforestasi dan perubahan iklim secara ilmiah dan kontekstual kepada masyarakat.
Wening menjelaskan bahwa program rehabilitasi lahan mencakup kawasan mineral, gambut, dan ekosistem mangrove. Semuanya memiliki fungsi ekologis penting untuk meredam bencana hidrometeorologi yang makin sering terjadi.
“Pemuka agama bisa menjadi motor penggerak karena memiliki jaringan luas dan kepercayaan publik. Mereka kami ajak untuk turut menanam pohon dan menjaga lingkungan,” katanya.
Untuk mendukung partisipasi masyarakat, Kementerian Kehutanan menyiapkan bantuan bibit pohon secara gratis. Program ini sekaligus diharapkan membangun kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian hutan dan penguatan ketangguhan terhadap krisis iklim.
Data BNPB mencatat, selama periode 1 Januari hingga 15 Desember 2024, terjadi 1.942 bencana alam di Indonesia. Sebanyak 95 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang. Dampaknya, 469 orang meninggal dunia, 58 orang hilang, dan 1.157 lainnya mengalami luka. Lebih dari 61.000 rumah warga mengalami kerusakan, termasuk 10.821 unit yang rusak berat.
Menurut Wening, mengatasi persoalan ini butuh pendekatan lintas sektor yang menggabungkan dimensi ekologi dan spiritualitas. “Pelestarian hutan tidak hanya soal teknis kehutanan, tapi juga menyangkut tanggung jawab moral kita kepada generasi mendatang,” ujar Wening.