Jumat 04 Jul 2025 12:56 WIB

Teknologi DEF Dianggap Efektif Tekan Emisi Kendaraan Diesel

Sejumlah negara telah mewajibkan penggunaan DEF.

Sejumlah truk yang akan menyeberang ke Halmahera antre di Pelabuhan Ferry Bastiong,Ternate, Maluku Utara, Kamis (22/2/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Sejumlah truk yang akan menyeberang ke Halmahera antre di Pelabuhan Ferry Bastiong,Ternate, Maluku Utara, Kamis (22/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam pengendalian emisi dari kendaraan berbahan bakar diesel. Berbagai moda transportasi seperti truk logistik, kendaraan pertambangan, bus angkutan kota, hingga kapal laut, menjadi kontributor signifikan emisi nitrogen oksida (NOx), partikel halus (PM2.5), dan karbon dioksida (CO2) di udara.

Salah satu teknologi pengurangan emisi yang telah banyak diterapkan secara global adalah penggunaan Diesel Exhaust Fluid (DEF), yang lebih dikenal dengan merek dagang AdBlue.

Cairan urea ini bekerja dengan disemprotkan ke sistem knalpot kendaraan diesel berteknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) untuk mengubah gas NOx menjadi nitrogen dan uap air yang tidak berbahaya. Teknologi ini telah menjadi bagian dari standar emisi Euro 4 hingga Euro 6.

Di Indonesia, penerapan DEF masih belum meluas, meskipun standar emisi Euro 4 untuk kendaraan baru telah diterapkan sejak 2022. Rendahnya pemahaman dan belum adanya kewajiban penggunaan DEF membuat kontribusi kendaraan diesel terhadap pencemaran udara tetap tinggi.

Padahal, lebih dari 5 juta kendaraan diesel aktif digunakan di sektor logistik, transportasi umum, dan perkapalan. Potensi pengurangan emisi melalui DEF pun dinilai cukup besar.

“Pemerintah memiliki peran krusial untuk mendorong penggunaan DEF secara luas, tidak hanya melalui regulasi, tapi juga dengan insentif, edukasi, dan kontrol distribusi,” kata Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis Hasgara International, Fuad Adi Siswoyo, Jumat (4/7/2025).

Beberapa negara telah lebih dulu menerapkan kebijakan ketat terkait emisi kendaraan diesel. Jepang, misalnya, mewajibkan penggunaan SCR dan DEF sejak diberlakukannya standar JP09. Korea Selatan melarang impor kendaraan diesel tanpa sistem SCR, dan Australia telah membangun jaringan distribusi DEF secara nasional sebagai syarat penerapan standar Euro 5 dan Euro 6.

“Jika Indonesia ingin mengejar target pengurangan emisi dan kualitas udara yang lebih baik, maka penerapan penggunaan wajib AdBlue pada kendaraan diesel baru dan eksisting adalah langkah logis dan mendesak,” ujar Fuad.

Indonesia menargetkan net zero emissions pada 2060. Namun, upaya dekarbonisasi sektor transportasi saat ini masih berfokus pada elektrifikasi, sementara pengurangan emisi dari kendaraan diesel belum menjadi prioritas. Padahal, dalam jangka menengah, kendaraan diesel diperkirakan tetap dominan terutama di sektor logistik dan industri ekstraktif.

“Transportasi bersih bukan hanya soal kendaraan listrik, tetapi juga pengurangan emisi dari kendaraan diesel yang masih akan dominan selama 10 tahun ke depan,” ucap Fuad.

Ia menilai dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi, kampanye publik, serta pengawasan distribusi akan menentukan seberapa cepat teknologi seperti DEF bisa diadopsi secara luas. “Tanpa dukungan tersebut, kita akan tertinggal dalam upaya menciptakan udara bersih dan mencapai target emisi,” tambahnya.

Sejauh ini, belum ada aturan yang mewajibkan penggunaan DEF di Indonesia. Kalaupun tersedia di pasar, distribusinya belum merata dan penggunaannya masih bersifat sukarela.

Dalam konteks kebijakan, DEF bisa disinergikan dengan program pemerintah seperti Langit Biru, program konversi energi, dan target net zero emission. Namun langkah tersebut memerlukan dorongan nyata agar tidak berhenti pada wacana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement