Senin 25 Aug 2025 19:40 WIB

Bos Eramet tak Setuju Label

Jerome mengakui setiap kegiatan tambang pasti meninggalkan jejak lingkungan.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Foto udara kondisi pertambangan nikel di salah satu perusahaan tambang di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Kamis (3/7/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Foto udara kondisi pertambangan nikel di salah satu perusahaan tambang di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Kamis (3/7/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Eramet Indonesia Jerome Baudelet menegaskan kampanye "dirty nickel" yang dialamatkan kepada Indonesia tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Menurutnya, praktik pertambangan di Tanah Air justru sudah bergerak ke arah yang tepat.

Ia menyampaikan telah mempelajari praktik sejumlah perusahaan tambang di Indonesia, tidak hanya di sektor nikel, tetapi juga tembaga. Berdasarkan pengamatannya, operasional perusahaan-perusahaan tersebut tergolong yang terbaik di dunia.

Baca Juga

"Sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia sudah menjalankan praktik dengan benar dan bergerak ke arah yang tepat," kata Jerome dalam acara Eramet Journalist Class di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Senin (25/8/2025).

Jerome mengakui setiap kegiatan tambang pasti meninggalkan jejak lingkungan. Hal itu berlaku di semua negara, bukan hanya Indonesia. Namun, langkah mitigasi terkait potensi pencemaran dan emisi karbon dioksida (CO₂) tetap dilakukan. Karena itu, ia menilai pelabelan "dirty nickel" tidak tepat.

"Jadi sejujurnya, saya tidak setuju dengan label 'dirty nickel' yang diberikan begitu saja kepada Indonesia. Datanglah dan lihat satu per satu operasinya, maka akan terlihat sebagian besar sudah melakukan hal yang benar," ujar Jerome.

Ia menambahkan, belakangan pemerintah semakin meningkatkan pembenahan tata kelola pertambangan. Presiden RI Prabowo Subianto juga menegaskan komitmen menindak tegas praktik penambangan ilegal. Menurut Jerome, hal itu menunjukkan sektor pertambangan di Indonesia terus diarahkan pada jalur yang benar.

"Di setiap negara selalu ada yang menjalankan tambang dengan baik, ada juga yang tidak, bahkan yang ilegal. Saya kira pemerintah saat ini sedang berupaya menindak persoalan pertambangan ilegal tersebut," ucapnya.

Lebih lanjut, Jerome menilai kampanye "dirty nickel" yang ramai di Barat tidak lepas dari meningkatnya produksi nikel Indonesia. Dari sebelumnya hanya sekitar 8 persen, kini kontribusi Indonesia mencapai lebih dari 60 persen produksi dunia. Kondisi itu membuat sejumlah industri berbasis nikel di luar negeri tertekan, terutama setelah kebijakan penghentian ekspor bijih nikel (nickel ore).

"Jadi memang ada dampak ekonomi terhadap negara-negara Barat," kata Jerome.

Ia menilai kampanye tersebut merupakan upaya kelompok tertentu untuk memberi stigma negatif terhadap nikel Indonesia dengan alasan tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement