Jumat 19 Sep 2025 15:33 WIB

Masyarakat Sipil Lintas Iman Desak Transisi Energi yang Berkeadilan

Para tokoh agama menekankan krisis iklim sebagai tanggung jawab moral umat beriman.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Krisis iklim bukan lagi bayangan jauh dari konferensi global. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Krisis iklim bukan lagi bayangan jauh dari konferensi global. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis iklim bukan lagi bayangan jauh dari konferensi global. Pemanasan bumi sudah nyata udara kian sesak, air semakin langka, hingga bencana datang tanpa jeda.

Realitas ini menegaskan, tak ada lagi ruang untuk berjalan sendiri. Saatnya semua lapisan masyarakat, termasuk pemimpin lintas agama, bersatu menggerakkan nurani dan aksi nyata demi bumi, rumah bersama umat manusia.

Baca Juga

Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia Hening Parlan menekankan krisis iklim bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan moral dan kemanusiaan. Ia memperkenalkan gagasan Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang baru saja diterbitkan dalam bentuk buku.

“Energi yang kita gunakan hari ini mayoritas masih bersumber dari fosil seperti batubara dan minyak bumi, yang terbatas sekaligus merusak lingkungan. Dari perspektif Islam, jika ada kerusakan, kita wajib bertobat dan memperbaikinya. Itu artinya kita harus bertransisi menuju energi yang lebih baik, yakni energi matahari, angin, dan air, yang disebut sebagai energi surga,” kata Hening dalam pernyataannya, Kamis (18/9/2025) lalu.

Pernyataan ini disampaikan dalam Diskusi Publik Lintas Iman melalui Instagram Live bertajuk “Reorientasi Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30” yang digelar GreenFaith Indonesia bersama 350.org.

Hening juga mengingatkan, transisi energi tidak boleh berhenti di ruang-ruang rapat elite. “Transisi harus berpihak pada rakyat kecil, karena merekalah yang menyuplai kebutuhan energi, tetapi justru paling banyak menanggung dampaknya,” ujarnya.

Nada Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Dr Li Edi Ramawijaya Putra menegaskan agama seharusnya tidak berhenti pada diskursus teologi, melainkan menyentuh kehidupan nyata.

“Agama mampu mendorong kebiasaan kecil yang konsisten, atomic habit, yang berdampak besar bagi keadilan iklim. Isu energi tidak boleh bersifat elitis. Ia adalah hak dasar semua orang, tanpa memandang strata sosial,” tegasnya.

Edi mengingatkan, bila tata kelola energi hanya berorientasi pada keuntungan, maka yang selalu menjadi korban adalah masyarakat adat, petani, dan nelayan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement