Kamis 25 Sep 2025 13:09 WIB

Sikap Trump Dinilai tak Pengaruhi Target Iklim Global

Negara-negara lain justru semakin bergerak cepat menuju ekonomi bersih.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Presiden Donald Trump berpidato pada sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa, 23 September 2025, di markas besar PBB.
Foto: AP Photo/Angelina Katsanis
Presiden Donald Trump berpidato pada sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa, 23 September 2025, di markas besar PBB.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Penasihat PBB bidang keberlanjutan sekaligus ekonom Columbia University, Jeffrey Sachs, menilai sikap Presiden Amerika Serikat (AS) yang tak percaya perubahan iklim tidak akan berdampak pada komitmen negara lain dalam menurunkan emisi. Ia menyebut kerja sama multilateral di isu keberlanjutan, termasuk perubahan iklim, memang tengah menghadapi masa sulit.

Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Trump menyebut perubahan iklim sebagai “penipuan terbesar.” Pernyataan itu disampaikan menjelang Pertemuan Perubahan Iklim (COP30) yang akan digelar PBB di Brasil, November mendatang.

Baca Juga

Sachs mengakui ucapan Trump membuat banyak pihak terkejut. Namun, menurutnya negara-negara lain justru semakin bergerak cepat menuju ekonomi bersih.

“Saya berbicara dengan banyak kepala negara, saya belum mendengar satu pun presiden, setidaknya mendengar langsung, bahwa pengabaian AS di bawah pemerintah Trump terhadap isu (perubahan iklim) mengubah cara pandang mereka sepenuhnya,” kata Sachs dalam kegiatan Climate Week di New York, Rabu (24/9/2025).

Ia menekankan ada alasan konkret mengapa transisi energi tetap berlanjut, yakni biaya energi terbarukan yang semakin murah. Sebagai contoh, harga tenaga surya kini turun drastis hingga 8 sen per watt.

“Sejujurnya bertolak belakang dengan klaim Donald Trump kemarin ketika ia mengatakan bahan bakar fosil baik dan anda merusak negara anda dengan beralih ke energi terbarukan, itu salah bahkan dari kalkulus biaya paling dasar,” ujar Sachs.

Direktur Pusat Pembangunan Berkelanjutan Columbia University itu juga lama mengadvokasi reformasi lembaga keuangan global seperti Bank Dunia agar bisa menyalurkan lebih banyak pinjaman untuk pembangunan berkelanjutan.

Namun, ia mengakui program reformasi masih terhambat. Para pemegang saham utama, terutama dari negara-negara kaya, enggan menambah pendanaan baru. Sebaliknya, mereka mendorong lembaga-lembaga itu lebih efisien dengan dana yang ada.

Sachs tidak sependapat dengan sikap tersebut. Menurutnya, menambah modal bukanlah hal yang sulit atau memberatkan. Ia juga mengusulkan solusi lain, yaitu memberi peran lebih besar kepada negara-negara lain, termasuk China, dalam sistem bank pembangunan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement