REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Pemanasan global tidak hanya meningkatkan suhu bumi, tetapi juga mengubah cara dan frekuensi terjadinya hujan serta salju ekstrem di berbagai wilayah dunia. Perubahan ini berdampak langsung pada ketahanan pangan, stabilitas ekosistem, dan ketangguhan infrastruktur.
Tim peneliti yang dipimpin Prof. Chen Yaning dari Xinjiang Institute of Ecology and Geography (XIEG), Chinese Academy of Sciences (CAS), mengungkap bagaimana dua jenis presipitasi, yaitu cair (hujan) dan padat (salju), merespons pemanasan global. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Climate Change Research itu menggunakan data reanalisis ERA5-Land dari 1950 hingga 2022.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
“Presipitasi ekstrem merupakan faktor krusial dalam manajemen risiko,” kata penulis utama studi tersebut Li Yupeng seperti dikutip dari Phys.org, Senin (27/10/2025).
Para peneliti menganalisis tren jangka panjang, sensitivitas terhadap suhu, dan mekanisme yang mempengaruhi curah hujan dan salju ekstrem di Belahan Bumi Utara. Mereka menemukan dalam tujuh dekade terakhir intensitas hujan ekstrem meningkat rata-rata 0,269 milimeter per tahun atau hampir sembilan kali lebih cepat dibanding kenaikan salju ekstrem yang hanya 0,029 milimeter per tahun.
Studi ini juga menemukan curah hujan ekstrem meningkat seiring naiknya suhu dengan sensitivitas +2,27 mm per kenaikan satu derajat Kelvin, sementara curah salju ekstrem justru melemah dengan sensitivitas -1,63 mm/K, terutama di lintang menengah antara 30 derajat Lintang Utara hingga 60 derajat Lintang Utara.
Secara spasial, wilayah dengan peningkatan hujan ekstrem kini mencakup 22 persen area di belahan bumi utara, sedangkan peningkatan signifikan salju ekstrem hanya terjadi di sekitar 4,7 persen wilayah, terutama di daerah berlintang tinggi di atas 70 derajat Lintang Utara atau kawasan pegunungan.
Peneliti juga mencatat proporsi hujan ekstrem terhadap total presipitasi meningkat 0,038 persen setiap tahun, sementara kontribusi salju ekstrem naik lebih lambat, sekitar 0,017 persen per tahun. Tren ini menunjukkan bahwa siklus air global akan semakin didominasi peristiwa ekstrem yang intens dan tiba-tiba, meningkatkan risiko banjir di wilayah lintang menengah dan ketidakstabilan tumpukan salju di kawasan dingin.
“Wilayah lintang menengah perlu memprioritaskan pengelolaan risiko banjir akibat hujan yang makin intens, sementara daerah lintang tinggi dan pegunungan harus bersiap menghadapi bahaya terkait salju," kata Li.
Temuan ini menjadi dasar ilmiah penting untuk memahami perilaku presipitasi ekstrem secara global serta membantu perumusan strategi adaptasi iklim dan pencegahan bencana yang lebih tepat sasaran.