REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo mengatakan payung hukum diperlukan untuk memberikan sanksi sosial kepada warga yang membakar sampah sembarangan. Salah satu bentuk sanksi sosial itu adalah pemasangan foto pelanggar di lokasi kejadian atau sanksi lainnya.
“Jakarta ini kota yang harus tertib pada aturan main. Semua hal yang berkaitan dengan seperti itu tentunya harus ada payung hukumnya,” ujar Pramono saat dijumpai di kawasan Jakarta Utara, Kamis.
Terkait penanganan sampah, Pramono mengatakan saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berupaya menangani sampah di Jakarta, salah satunya melalui Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan.
Apabila sampah dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), maka persoalan sampah dapat tertangani dengan baik di Jakarta.
“Saya yakin persoalan sampah di Jakarta yang dulu menjadi persoalan bagi masyarakat, sekarang menjadi harta karun karena akan memberikan dampak yang pertama di Rorotan, bisa dijual ke swasta, sedangkan yang untuk waste-to-energy akan menghasilkan energi dan akan berguna bagi masyarakat,” jelas Pramono.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan Pemprov DKI masih mencari payung hukum untuk memberikan sanksi sosial kepada warga yang membakar sampah sembarangan.
Payung hukum itu diperlukan karena hingga saat ini belum ada regulasi spesifik yang mengatur sanksi sosial terhadap pembakar sampah.
Asep menuturkan sanksi sosial pada hakikatnya bukanlah sanksi formal yang diatur undang-undang, melainkan mekanisme kontrol sosial berbasis kesepakatan masyarakat untuk membina kepatuhan terhadap norma lingkungan.
Berbeda dengan sanksi hukum yang bersifat mengikat, sanksi sosial lebih menekankan pembinaan moral dan tanggung jawab kolektif.
DLH DKI Jakarta pun terus mencari pendekatan inovatif untuk menekan kebiasaan membakar sampah, yang terbukti menjadi sumber utama polusi udara perkotaan dan pelepasan partikel mikroplastik ke lingkungan.
Pembakaran sampah plastik di kawasan padat penduduk dapat menghasilkan emisi beracun yang terhirup warga, sekaligus mencemari air hujan dan tanah melalui endapan mikroplastik yang mengancam kesehatan publik dan ekosistem perkotaan.
Asep pun berharap dengan adanya mekanisme sanksi sosial yang berbasis hukum, berkeadilan, dan edukatif tanpa menimbulkan stigma berlebih dapat memperkuat kesadaran kolektif dalam menjaga lingkungan Jakarta yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.