REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi, menyatakan bahwa pertumbuhan dan pemanfaatan energi panas bumi untuk ketenagalistrikan berjalan lambat. Sejak 1982 hingga saat ini, baru terpasang 2378 megawatt atau rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang per tahun hanya 63 Megawatt.
Perkembangan energi panas bumi itu jauh dari sumberdaya panas bumi yang dimiliki Indonesia yaitu sekitar 24 ribu megawatt, dengan cadangan sekitar 19 ribu megawatt.
"Indonesia memakai energi panas bumi sejak tahun 1982 untuk mendukung sumber energi kelistrikan nasional. Saat itu, kapasitas yang terpasang sampai 30 Megawatt. Dan sejak saat itu, pertumbuhan energi panas bumi berjalan, meskipun lambat," kata dia pada pembukaan Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) di JJC Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Menurut dia, lambatnya pertumbuhan tersebut disebabkan beberapa hal seperti kesenjangan harga atau tarif listrik panas bumi dengan nilai keekonomian proyek. Selain itu, menurut dia, peraturan yang teralu sering berubah juga mengakibatkan ketidakpastian bagi pertumbuhan panas bumi.
Saat ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk melakukan percepatan transisi energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, perlu ada aturan turunan menteri.
"Misalnya, untuk aturan soal permudahan izin, partisipasi pemerintah untuk membangun proyek pengembangan panas bumi," kata Prijandaru.
Melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021 -2030, PT PLN bersama pemerintah telah menargetkan pencapaian energi panas bumi 5500 megawatt di tahun 2030, atau 51,6 persen kontribusi dari green energi. Ini berarti di perlukan tambahan sekitar 3300 megawatt selama 7 tahun ke depan atau sekitr 450 megawatt per tahun.
"Target itu sangat ambisius, dan semua pihak terkait sedang bekerja keras. Saya kira campur tangan pemerintah perlu agar hambatan dan permasalahan dapat diselesaikan," kata Prijandaru.