REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penerapan ESG (environmental, social, dan governance) mulai dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia yang melantai di bursa. Meski demikian, menurut dia, hal tersebut masih parsial.
Bhima menjelaskan, penerapan ESG masih parsial salah satunya karena belum terlihat adanya urgensi. Itu terjadi utamanya pada perusahaan domestik yang bergantung pada investor domestik.
“Baru ketika perusahaan ingin mencari pendanaan di pasar internasional skor ESG-nya didorong lebih tinggi. Di sinilah letak potensinya ketika pendanaan asing memberikan cost of capital yang lebih murah dan likuiditasnya tersedia maka perusahaan dituntut memiliki skor ESG yang lebih baik,” kata Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/9/2023).
Menurut Bhima, urgensi penerapan USG bisa didorong setelah OJK melakukan revisi Taksonomi Hijau Indonesia (THI) dengan mengarahkan pembiayaan ke perusahaan dengan ESG tinggi. Taksonomi Hijau memungkinkan perusahaan keuangan memastikan proyek yang dibiayai memberikan dampak terhadap lingkungan atau sebaliknya.
ESG, kata Bhima, memiliki tiga scope, yaitu scope 1 hingga scope 3. Sebagian besar perusahaan masih berusaha mencapai target scope 1, dimana penerapan operasional bisnis yang berkelanjutan terbatas pada lingkup kecil misalnya mengurangi pemakaian kertas, dan mengelola limbah dengan baik.
“Sementara perusahaan yang mencapai scope 3 memiliki rantai pasok dari produsen sampai ritel akhir sudah mengurangi emisi karbon secara signifikan,” kata Bhima.
ESG merupakan singkatan dari environmental (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola). ESG merupakan kerangka kerja bisnis dan perusahaan dalam menjalankan prosedur investasi yang terdiri atas tiga kriteria tersebut. Penerapan ESG ini adalah upaya dekarbonisasi dan peningkatan investasi di sektor usaha yang lebih ramah lingkungan.