REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Bill Gates bahwa menanam pohon tak bisa mengatasi krisis iklim, telah memicu polemik. Meskipun tak sedikit yang mendukung Gates, para pegiat reforestasi (penanaman pohon di hutan yang rusak) dan aforestasi (penanaman pohon di lahan yang bukan hutan) menilai pernyataan Bill Gates membuat aksi-aksi iklim berjalan mundur.
Dalam New York Times Climate Forward Summit pada 21 September 2023, Bill Gates merespon perdebatan terkait apakah penanaman secara massal benar-benar bermanfaat dalam memerangi perubahan iklim. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak menanam pohon, karena pendekatan tersebut kurang terbukti secara sains.
"Apakah kita ini termasuk orang yang berilmu atau orang idiot,” demikian kata Bill Gates dalam kesempatan tersebut.
Pernyataan polemik Gates, kemudian ditanggapi oleh kepala LSM American Forest, Jad Daley. Pria yang sudah mendedikasikan 16 tahun hidupnya untuk menjadikan hutan sebagai bagian dari solusi iklim mengatakan bahwa komentar Gates hanya memperkeruh masalah.
“Komentar semacam ini benar-benar dapat membuat kita mundur," kata Daley dalam cicitannya di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Skema penanaman pohon secara massal telah menjadi populer selama bertahun-tahun, sebagai salah satu cara untuk menangkap karbon dari atmosfer dalam skala besar. Bahkan anggota Partai Republik AS yang terkenal skeptis terhadap perubahan iklim telah memperkenalkan undang-undang untuk mendukung penanaman satu triliun pohon di seluruh dunia.
Gates tidak sendirian dalam meragukan manfaat dari rencana ambisius tersebut. Sekelompok ilmuwan memperingatkan bahwa penanaman pohon secara massal berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian daripada manfaat, terutama di kawasan tropis. Hal ini terutama karena penanaman massal dapat menggantikan ekosistem yang kompleks dengan perkebunan monokultur.
"Masyarakat telah mereduksi nilai ekosistem ini menjadi hanya satu metrik, yaitu karbon. Penangkapan karbon adalah komponen kecil dari fungsi ekologis penting yang dilakukan oleh hutan tropis dan ekosistem berumput," tulis para ilmuwan dari universitas di Inggris dan Afrika Selatan dalam sebuah artikel di jurnal Trends in Ecology and Evolution.
Jesus Aguirre Gutierrez, salah satu penulis makalah tersebut, menunjukkan contoh di Meksiko selatan dan Ghana, di mana hutan yang dulunya beragam kini telah berubah menjadi massa yang homogen.
“Hal ini membuat hutan menjadi sangat rentan terhadap penyakit dan berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal," ujar peneliti senior di Environmental Change Institute, University of Oxford, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (11/10/2023).
Komitmen penanaman pohon berskala massal sering kali melibatkan wanatani atau perkebunan, di mana pohon-pohon tersebut pada akhirnya akan ditebang dan melepaskan karbon. Dan penanaman didominasi oleh lima spesies pohon yang sebagian besar dipilih karena nilai kayu dan pulp (bubur kertas), atau kecepatan pertumbuhannya.
“Diantaranya adalah pohon jati, yang menimbulkan risiko tambahan terhadap vegetasi asli dan ekosistem," kata Aguirre Gutierrez, yang juga merupakan anggota Natural Environment Research Council.
Kritik lain terhadap penanaman pohon secara massal, termasuk kurangnya ruang secara global untuk banyak proyek penanaman massal yang diusulkan, serta risiko persaingan antara pertanian dan penanaman petani kecil.
Jadi, apakah menanam pohon benar-benar tidak ada nilainya? Tidak juga, kata Daley, yang organisasi American Forests-nya menyatakan bahwa mereka telah menanam 65 juta pohon. Menurut dia, premis Gates lah yang salah.
“Secara harfiah tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa hanya hutan yang dapat menyelamatkan kita dari perubahan iklim," kata dia.
Ia berpendapat bahwa para pengkritik mengabaikan proyek-proyek yang telah dikalibrasi dengan hati-hati yang melibatkan spesies asli di daerah-daerah yang membutuhkan reboisasi dan lebih berfokus pada beberapa skema yang tidak dirancang dengan baik. Kritik yang terlalu luas ini, kata Daley, juga telah mengabaikan fakta bahwa banyak reforestasi didorong oleh hilangnya hutan yang tidak akan beregenerasi tanpa bantuan.
"Kita tidak hanya pergi menanam pohon di mana pun kita mau untuk menangkap karbon,” tegas Daley.
Ada beberapa upaya untuk menjembatani kesenjangan antara para pengkritik dan pendukung, termasuk 10 golden rules for restoring forest yang diusulkan oleh Royal Botanic Gardens Inggris, Kew and Botanic Gardens Conservation International.
Mereka menyarankan untuk menghindari padang rumput atau lahan basah, memprioritaskan regenerasi alami, memilih pohon-pohon yang tahan banting, serta memiliki keanekaragaman hayati. Namun, mereka memulai dengan sebuah aturan yang mungkin dapat disetujui semua orang: lindungi hutan yang ada terlebih dahulu.