Kamis 26 Oct 2023 22:42 WIB

Mengganti Setengah Produk Daging dan Susu ke Nabati Bisa Kurangi Emisi Karbon

Permintaan produk hewani yang tinggi sebabkan konsekuensi yang merugikan lingkungan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sebuah studi baru menemukan bahwa mengganti setengah dari produk daging dan susu yang dikonsumsi manusia menjadi produk nabati, berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca.
Foto: Wikimedia
Sebuah studi baru menemukan bahwa mengganti setengah dari produk daging dan susu yang dikonsumsi manusia menjadi produk nabati, berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsumsi daging dan produk susu memberikan beban sangat besar bagi Bumi. Alih fungsi hutan menjadi padang rumput untuk penggembalaan ternak, hingga menanam biji-bijian untuk pakan ternak, telah melepaskan emisi karbon ke atmosfer berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Kini, sebuah studi baru menemukan bahwa mengganti setengah dari produk daging dan susu yang dikonsumsi manusia menjadi produk nabati, berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dan penggunaan lahan, hingga hampir sepertiganya. Pengurangan ini juga akan secara efektif menghentikan hilangnya tutupan hutan.

Baca Juga

"Daging nabati bukan hanya sebuah produk makanan baru, tetapi juga sebuah peluang penting untuk mencapai tujuan ketahanan pangan dan iklim, serta mencapai tujuan kesehatan dan keanekaragaman hayati di seluruh dunia," ujar salah seorang penulis studi Eva Wollenberg, seorang Antropolog dan Manajemen SDA dari Gund Institute for Environment di University of Vermont.

Permintaan global akan produk hewani juga diprediksi akan terus meningkat karena pendapatan masyarakat yang lebih tinggi dan pertumbuhan populasi. Hal ini pada akhirnya berisiko menyebabkan konsekuensi yang merugikan bagi lingkungan.

"Permintaan daging yang lebih tinggi biasanya dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi dan pergeseran pola makan yang terkait dengan urbanisasi, yang lebih menyukai protein dari sumber hewani dalam makanan," kata peneliti sekaligus ekonom pertanian, Marta Kozicka, seperti dilansir EcoWatch, Kamis (26/10/2023).

Diterbitkan dalam jurnal Nature Communications, penelitian ini didasarkan pada sebuah pemodelan yang disebut Global Biosphere Management Model (GLOBIOM). Ini merupakan model keseimbangan parsial ekonomi yang mengintegrasikan sektor pertanian, bioenergi, dan kehutanan global. Model ini dinilai sebagai alat yang komprehensif, dan memungkinkan eksplorasi skenario masa depan untuk sistem pangan serta pertanian.

Melalui model ini, peneliti dapat melihat hasil dari perpindahan pola makan global menuju alternatif nabati untuk daging ayam, daging sapi, daging babi, dan susu dengan nilai gizi yang sebanding.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi daging dan produk susu sebesar 50 persen dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari penggunaan lahan dan pertanian hingga 31 persen pada tahun 2050, dibandingkan dengan tahun 2020.

“Jika hal tersebut terjadi, alih-alih terus memperluas lahan pertanian, penggunaan lahan pertanian akan berkurang 12 persen. Selain itu, luas lahan alami dan hutan akan tetap berada pada tingkat yang sama dengan tahun 2020,” kata Kozicka.

Nitrogen yang digunakan untuk tanaman juga akan berkurang hampir setengahnya dibandingkan dengan proyeksi saat ini, dan penggunaan air akan berkurang 10 persen. Namun demikian, seberapa realistiskah mengharapkan orang-orang di seluruh dunia untuk mengurangi konsumsi daging dan produk susu hingga setengahnya?

Kozicka berpendapat, mengganti 50 persen konsumsi hewani menjadi nabati adalah hal realistis. Terutama, jika mempertimbangkan penggantian produk hewani tidak hanya dengan alternatif nabati baru, tetapi juga dengan produk nabati tradisional seperti tahu, dan pengganti daging baru lainnya, baik yang berbasis sel maupun serangga.

Adapun salah satu hambatan utama bagi konsumen yang ingin mengganti sebagian konsumsi daging dan produk susu dengan alternatif nabati adalah biaya. Menurut Kozicka, harga produk nabati di pasaran saat ini masih lebih mahal daripada produk serupa yang berasal dari hewani.

Kozicka menambahkan bahwa, menurut penelitian, pola makan yang sehat dan berkelanjutan secara signifikan lebih murah di negara-negara yang memiliki pendapatan menengah ke atas hingga tinggi. Sebaliknya, hal itu jauh lebih mahal di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah hingga rendah.

"Inilah sebabnya, sangat penting untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas makanan yang merupakan bagian dari pola makan ini," tegas Kozicka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement