Sabtu 28 Oct 2023 13:10 WIB

Dunia Gagal Pulihkan Hutan, Deforestasi Capai 6,6 Juta Hektare di 2022

Dari 6,6 juta hektare deforestasi, seluas 4,1 juta hektare merupakan hutan primer.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Laporan dari Wide Fund for Future (WWF) menyebutkan bahwa seluas 6,6 juta hektare hutan di dunia alami deforestasi.
Foto: www.freepik.com
Laporan dari Wide Fund for Future (WWF) menyebutkan bahwa seluas 6,6 juta hektare hutan di dunia alami deforestasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah laporan terbaru dari World Wide Fund for Nature (WWF) mengungkapkan bahwa dunia gagal melindungi dan memulihkan hutan. Dalam laporan berjudul Forest Pathways 2023, WWF mengatakan bahwa kegagalan ini bisa membawa dampak yang sangat buruk bagi keberlangsungan planet kita. 

Data dari Forest Declaration Assessment yang baru menunjukkan bahwa deforestasi mencapai 6,6 juta hektare pada tahun 2022, yang sebagian besarnya merupakan hutan primer di wilayah tropis yakni 4,1 juta hektar. Selain itu, sebanyak 96 persen deforestasi global yang mengkhawatirkan terjadi di wilayah tropis. Kawasan tropis Asia merupakan satu-satunya wilayah yang mendekati jalur untuk mencapai nol deforestasi bruto.

Baca Juga

WWF memperingatkan bahwa hutan tropis mulai berperan sebagai sumber emisi karbon, bukan penyerap karbon, di bawah tekanan iklim yang memanas, mengering, dan semakin ekstrim. Deforestasi yang meluas serta meningkat di tiga cekungan hutan tropis terbesar di dunia yaitu Amazon, Kongo, serta Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, dapat menyebabkan bencana iklim global.

Global Forest Lead WWF, Fran Price, mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi kerusakan hutan dengan konsekuensi yang menghancurkan dalam skala global. Tanpa hutan, kata Price, sangat mustahil kita bisa mengatasi krisis iklim dan mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan. 

“Sejak janji global untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030 dibuat, area hutan tropis seluas Denmark telah hilang. Kita berada pada titik kritis. Pemerintah dan perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan kita ke jalan yang benar. Kita butuh ambisi tanpa kompromi, kecepatan dan akuntabilitas untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan,” kata Price seperti dilansir Geographical, Sabtu (28/10/2023).

Laporan Forest Pathways menunjukkan bahwa secara global, setidaknya 100 kali lebih banyak dana publik digunakan untuk subsidi yang merusak lingkungan, dibandingkan untuk konservasi hutan. Forest Declaration Assessment mengungkapkan bahwa secara global, hanya 2,2 miliar dolar AS dana publik yang disalurkan ke hutan setiap tahunnya -jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan investasi global lainnya.

Selain itu, menurut Price, masyarakat adat dan masyarakat lokal juga hanya menerima sebagian kecil dari dana yang mereka butuhkan untuk mengamankan hak-hak dan mengelola wilayah mereka secara efektif.

Laporan ini dikeluarkan menjelang Three Basins Summit pada 26-28 Oktober, yang memberikan kesempatan penting bagi pemerintah untuk menyampaikan program dan tindakan yang menunjukkan akuntabilitas dan transparansi, dalam jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi skala urgensi.

Hal ini termasuk meningkatkan dan menyalurkan pendanaan secara transparan dan adil untuk hutan tropis berintegritas tinggi, serta bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk kembali ke jalur yang benar. Lalu memenuhi komitmen menghentikan deforestasi, melindungi, mengelola dan merestorasi hutan secara berkelanjutan, serta mulai membuat kemajuan tahunan yang berkesinambungan.

Selain menyerukan agar janji-janji finansial dipenuhi, laporan WWF Forest Pathways 2023 menetapkan cetak biru untuk menyelamatkan hutan pada tahun 2030, dengan langkah-langkah penting, termasuk mengakhiri investasi dan subsidi yang merusak hutan, seperti subsidi pertanian yang bertanggung jawab atas hilangnya 2,2 juta hektar hutan per tahun

Lalu mereformasi aturan perdagangan global yang merusak hutan, mengeluarkan komoditas yang menyebabkan deforestasi dari rantai pasok global, dan menghilangkan hambatan terhadap barang-barang yang ramah hutan. Mempercepat pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat adat, serta melakukan pergeseran menuju ekonomi berbasis alam.

“Jika para pemimpin dan pelaku bisnis menepati janji mereka untuk mengambil tindakan, maka masih ada kesempatan untuk membalikkan tren ini dan mengamankan masa depan dengan lebih banyak hutan yang tumbuh subur yang bermanfaat bagi umat manusia,” demikian kata Price.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement