REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalan-jalan berubah menjadi sungai berwarna coklat keruh, rumah-rumah hanyut terbawa arus deras dan mayat-mayat terseret lumpur saat terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan setelah hujan lebat menghantam Sumatera Barat pada awal Maret, yang menandai salah satu bencana alam mematikan di Indonesia.
Para pejabat pemerintah menyalahkan banjir sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi, namun kelompok lingkungan hidup menyebutkan bahwa bencana ini merupakan contoh terbaru dari deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang memperparah dampak cuaca buruk di seluruh Indonesia.
"Bencana ini terjadi bukan hanya karena faktor cuaca ekstrem, tetapi karena krisis ekologi. Jika lingkungan hidup terus diabaikan, maka kita akan terus menuai bencana ekologis,” kata Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip AP, Selasa (2/4/2024).
Sebagai negara kepulauan tropis yang membentang di garis khatulistiwa, Indonesia merupakan rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dengan berbagai satwa liar dan tanaman yang terancam punah, termasuk orangutan, gajah, pohon-pohon tua raksasa.
Selama beberapa generasi, hutan juga telah menyediakan mata pencaharian, makanan, dan obat-obatan, serta memainkan peran penting dalam praktik budaya bagi jutaan penduduk asli Indonesia.
Sejak tahun 1950, lebih dari 74 juta hektar hutan hujan Indonesia telah ditebang, dibakar, atau terdegradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas, dan karet, pertambangan, serta komoditas lainnya, demikian menurut Global Forest Watch.
Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar, salah satu eksportir batu bara terbesar dan penghasil pulp untuk kertas. Indonesia juga mengekspor minyak dan gas, karet, timah, dan sumber daya lainnya. Indonesia juga memiliki cadangan nikel terbesar di dunia - bahan penting untuk kendaraan listrik, panel surya, dan barang-barang lain yang dibutuhkan untuk transisi energi hijau.
Indonesia secara konsisten menduduki peringkat sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan pemanasan global, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan kebakaran lahan gambut, menurut Global Carbon Project.
Indonesia juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk kejadian-kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan, perubahan jangka panjang akibat kenaikan permukaan air laut, pergeseran pola curah hujan, dan peningkatan suhu, menurut Bank Dunia.
Namun, menurut pakar keberlanjutan Aida Greenbury, hutan dapat membantu memainkan peran penting dalam mengurangi dampak dari beberapa kejadian cuaca ekstrem. Menurut dia, bencana banjir dapat diperlambat dengan adanya pepohonan dan vegetasi yang menyerap air hujan dan mengurangi erosi. Di musim kemarau, hutan melepaskan uap air yang membantu mengurangi dampak kekeringan, termasuk kebakaran.
Namun, ketika tutupan hutan berkurang, manfaat-manfaat tersebut juga berkurang. Setelah banjir yang mematikan di Sumatera pada awal Maret lalu, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah mengatakan bahwa terdapat indikasi kuat adanya pembalakan liar di sekitar lokasi yang terkena dampak banjir dan longsor. Hal ini, ditambah dengan curah hujan yang ekstrim, sistem drainase yang tidak memadai dan pembangunan perumahan yang tidak tepat, berkontribusi terhadap bencana tersebut.
Para ahli dan aktivis lingkungan telah menunjukkan bahwa deforestasi juga memperburuk bencana di wilayah lain di Indonesia. Pada tahun 2021, para aktivis lingkungan menyalahkan sebagian banjir yang mematikan di Kalimantan karena degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan skala besar dan operasi kelapa sawit.
Di Papua, deforestasi sebagian disalahkan atas banjir dan tanah longsor yang menewaskan lebih dari seratus orang pada tahun 2019. Sebuah studi pada tahun 2017 melaporkan bahwa konversi hutan dan deforestasi membuat tanah gundul menjadi terbuka terhadap curah hujan, menyebabkan erosi tanah.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa laju deforestasi melambat antara tahun 2021-2022. Namun, para ahli memperingatkan bahwa deforestasi di Indonesia tidak akan berhenti dalam waktu dekat karena pemerintah terus melanjutkan proyek-proyek pertambangan dan infrastruktur baru seperti pabrik peleburan nikel dan pabrik semen.
"Banyak izin penggunaan lahan dan investasi berbasis lahan telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan, dan banyak dari area-area tersebut yang sudah rawan bencana," ujar Arie Rompas, ahli kehutanan dari Greenpeace.
Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang dijadwalkan akan mulai menjabat pada bulan Oktober, telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan pembangunan Jokowi, termasuk perkebunan pangan berskala besar, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur lainnya yang semuanya terkait dengan deforestasi.
Para pengamat lingkungan juga memperingatkan bahwa perlindungan lingkungan di Indonesia semakin melemah, termasuk pengesahan Omnibus Law yang kontroversial, yang menghapus sebuah pasal dalam Undang-Undang Kehutanan mengenai luas minimum hutan yang harus dipertahankan pada proyek-proyek pembangunan.
"Penghapusan pasal tersebut membuat kami sangat khawatir (tentang deforestasi) untuk tahun-tahun mendatang," kata Rompas.