Kamis 02 Nov 2023 16:40 WIB

Dunia Masuk Fase 'Uncharted Territory', Zona yang Bahayakan Seluruh Makhluk di Bumi

Perubahan iklim menjadi penyebab utama dunia masuk ke zona yang belum dipetakan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Studi ungkap bahwa Planet Bumi memasuki zona yang belum dipetakan sehingga membahayakan seluruh makhluk hidup.
Foto: www.freepik.com
Studi ungkap bahwa Planet Bumi memasuki zona yang belum dipetakan sehingga membahayakan seluruh makhluk hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi terbaru menyatakan bahwa dunia sedang memasuki zona yang belum dipetakan (uncharted territory), dimana itu dapat membahayakan seluruh makhluk hidup di Bumi. Karena aktivitas manusia, iklim telah bergeser dan menciptakan situasi yang belum pernah disaksikan oleh umat manusia secara langsung.

"Umat manusia sedang gagal, terus terang saja. Alih-alih mengurangi emisi gas rumah kaca, kita malah meningkatkannya. Jadi, kita tidak melakukannya dengan baik saat ini,” kata Bill Ripple, ahli ekologi dari Oregon State University yang memimpin penelitian ini.

Baca Juga

Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan di BioScience, Ripple dan rekan-rekannya menganalisis 35 tanda-tanda vital planet Bumi yang digunakan untuk melacak krisis iklim dan menemukan bahwa 20 di antaranya berada di rekor ekstrem. Itu termasuk emisi karbon dioksida, subsidi bahan bakar fosil, keasaman laut, dan perubahan ketebalan gletser. Tanda-tanda vital tersebut mencakup aktivitas manusia dan respons planet ini terhadapnya.

Penelitian ini juga mengungkap bahwa subsidi bahan bakar fosil meningkat dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dari 531 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 triliun dolar AS. Para penulis mengaitkan hal ini sebagian dengan invasi Rusia ke Ukraina, yang membuat banyak negara beralih dari gas yang dipasok Rusia ke batu bara.

Namun demikian, konflik ini juga mendorong beberapa negara Eropa untuk menggunakan lebih banyak energi terbarukan, yang berkontribusi pada peningkatan energi surya dan angin sebesar 17 persen dari tahun 2021 hingga 2022.

Para penulis mencatat bahwa sebagian besar emisi karbon dioksida berasal dari negara-negara kaya. Sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah yang tidak banyak menghasilkan emisi, sering kali dihadapkan pada dampak iklim tanpa memiliki infrastruktur dan dana untuk mengatasinya.

"Ilmuwan sering kali tidak menyertakan masalah keadilan. Padahal menurut saya ini harus juga diprioritaskan. Karena jika tidak, kita tidak akan menyelesaikan masalah ini; kita hanya akan terus memberi tahu orang-orang bahwa ada masalah,” kata Joyeeta Gupta, seorang ilmuwan keberlanjutan di University of Amsterdam yang tidak terlibat dalam penelitian, seperti dilansir Smithsonian Magazine, Kamis (2/11/2023).

Pada tahun 2023, serangkaian rekor iklim yang luar biasa dipecahkan, termasuk total 38 hari dengan suhu rata-rata global lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Sejak tahun 2000, hari-hari sepanas itu jarang terjadi, dan sebelum pergantian abad, hal tersebut tidak pernah tercatat.

Selain itu, 21 hari terpanas Bumi terjadi di bulan Juli, dan secara keseluruhan bulan tersebut merupakan bulan terpanas yang pernah dicatat. Suhu tinggi juga berkontribusi pada tingkat es Antartika yang mencapai rekor terendah dan penurunan massa es di Greenland. Kebakaran hutan yang dipicu oleh perubahan iklim di Kanada tahun ini melepaskan karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar, sekitar satu gigaton. Sebagai perbandingan, negara ini mengeluarkan total 0,67 gigaton gas rumah kaca pada tahun 2021.

"Kehidupan di planet kita jelas berada di bawah ancaman. Tren statistik menunjukkan pola yang sangat mengkhawatirkan dari variabel terkait iklim dan bencana. Kami juga menemukan sedikit kemajuan yang dapat dilaporkan dalam upaya umat manusia memerangi perubahan iklim,” kata Ripple.

Penelitian baru ini memperbarui penelitian tahun 2019 yang juga dipimpin oleh Ripple dan koleganya Christopher Wolf, dimana mereka meneliti tanda-tanda vital Bumi dan memperingatkan kondisi darurat iklim. Studi tersebut ditandatangani bersama oleh lebih dari 15 ribu ilmuwan di 161 negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement