REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendanaan iklim menjadi salah satu tantangan terbesar dalam transisi menuju Net Zero. Biaya yang diperlukan untuk melakukan proses transisi sangat besar, dan selama ini masih dianggap terpisah atau eksternalitas dari proses produksi dan konsumsi. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan, negara berkembang Asia membutuhkan investasi tahunan sebesar 1,7 triliun dolar AS untuk infrastruktur transisi hingga tahun 2030.
Pakar Ekonomi Lingkungan, Andhyta Firselly Utami, menilai bahwa dunia memiliki potensi untuk mengejar target pendanaan iklim yang telah ditetapkan, termasuk komitmen 100 miliar dolar AS per tahun untuk pendanaan iklim yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dan kesulitan terkait pendanaan iklim, dia memperkirakan target tersebut dapat diatasi dalam jangka menengah asalkan pemimpin dunia lebih serius menangani isu ini.
“Optimisme kritis ini menggambarkan semangat untuk tetap berusaha mengatasi tantangan finansial dalam perubahan iklim. Karena proses transisi harus dibiayai sedemikian rupa sehingga pendanaan dari hal-hal lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tidak akan teralihkan dan masyarakat tidak merasakan dampaknya. Ini juga menjadi alasan mengapa sektor jasa keuangan memainkan peran penting dan bank-bank dapat mendukung transisi ini dengan pembiayaan,” kata Andhyta dalam diskusi media di Jakarta Selatan pada Selasa (7/11/2023).
Saat ini terdapat dua inisiatif finansial yang berkaitan dengan perubahan energi dan kebijakan iklim global yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). JETP adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk mendukung peralihan menuju energi bersih dan berkelanjutan dengan fokus pada aspek keadilan sosial.
Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa peralihan ke energi bersih tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial. JETP menekankan pentingnya memerhatikan dampak perubahan iklim pada masyarakat yang paling rentan, termasuk mereka yang bekerja di sektor-sektor energi konvensional yang mungkin terpengaruh oleh perubahan kebijakan.
Inisiatif JETP mendukung transformasi ke sektor energi yang lebih berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampaknya pada lapangan pekerjaan, penghidupan masyarakat lokal, dan keadilan sosial. GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) Indonesia memobilisasi dan memfasilitasi pendanaan publik dan swasta sebesar USD 20 miliar selama lima tahun ke depan untuk mendukung JETP di Indonesia.
Sedangkan ETM adalah mekanisme berupa dukungan teknis, keuangan, dan peningkatan kapasitas yang dirancang untuk membantu negara-negara mempercepat transisi ke energi bersih. ETM membantu negara-negara dalam merancang dan melaksanakan kebijakan, mengidentifikasi sumber pembiayaan, dan meningkatkan kapasitas teknis yang diperlukan untuk mengatasi hambatan dalam transisi energi.
Hal ini penting karena banyak negara menghadapi kendala dalam mencapai tujuan iklim mereka, dan ETM adalah upaya untuk memberikan dukungan agar mereka dapat menghadapi perubahan tersebut dengan lebih efektif. Ini termasuk proyek-proyek infrastruktur, pembangkit listrik terbarukan, dan proyek energi hijau lainnya yang mendukung transisi energi.
Lebih lanjut, Andhyta mengamati bahwa saat ini Indonesia sedang bergerak menuju pembiayaan berkelanjutan dengan berbagai inisiatif pemerintah dan perusahaan swasta. Beberapa bank dan lembaga keuangan di Indonesia telah mulai mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan.
“Mereka mendukung proyek-proyek seperti pembangkit listrik tenaga surya, restorasi hutan, dan infrastruktur ramah lingkungan. Baik JETP maupun ETM berperan penting dalam memfasilitasi implementasi finansial proyek-proyek energi bersih di Indonesia tersebut,” jelas Andhyta.
Untuk pasar seperti di Asia, di mana lebih dari 50 persen energinya menggunakan bahan baku batu bara, penting untuk memastikan bahwa transisi tersebut adil dan inklusif, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial dari transisi yang akan disesuaikan dengan realitas lokal dan kebutuhan pembangunan.