Senin 20 Nov 2023 17:24 WIB

Keberadaan Plankton Sangat Berbahaya Bagi Lingkungan Akibat Polusi Plastik, Mengapa?

Plankton diketahui banyak mengonsumsi mikroplastik akibat limbah plastik.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Plankton dapat dengan sangat cepat meningkatkan bahaya lingkungan akibat polusi plastik.
Foto: wikimedia
Plankton dapat dengan sangat cepat meningkatkan bahaya lingkungan akibat polusi plastik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plankton dengan cepat meningkatkan bahaya lingkungan akibat polusi plastik. Menurut penelitian terbaru, makhluk mikroskopis yang mengonsumsi mikroplastik itu ternyata mengeluarkan partikel plastik yang lebih kecil lagi (nanopartikel) ke dalam lautan dan perairan tawar.

Kelompok zooplankton tertentu, rotifera, telah diidentifikasi sebagai penyebab utama yang menghasilkan partikel nano yang lebih berbahaya ini. Para peneliti di University of Massachusetts Amherst menemukan bahwa rotifera mampu menelan plastik selebar 10 mikrometer, lalu menguraikannya, dan melepaskan kembali ribuan nanoplastic ke lingkungan. Yang mengherankan, seekor zooplankton dapat menghasilkan antara 348 ribu hingga 366 ribu partikel nanoplastic setiap harinya.

Baca Juga

Secara teoritis, satu mikroplastik dapat direduksi menjadi partikel nanoplastik dalam jumlah yang tak terduga, sekitar satu kuadriliun. Di danau air tawar terbesar di China, Poyang, diperkirakan zooplankton menghasilkan 13,3 kuadriliun partikel nano setiap harinya.

Umumnya, nanoplastik terbentuk ketika sinar matahari mengurai potongan-potongan yang lebih besar, dan ketika ombak membuatnya bergesekan dengan berbagai permukaan, maka akan menguraikannya lebih lanjut. Proses penuaan botol plastik juga berkontribusi terhadap fragmentasi.

Sementara Antartika Krill, jenis zooplankton lainnya, diketahui dapat mengurai mikroplastik, namun mereka tinggal di daerah terpencil. Rotifera, di sisi lain, lebih tersebar luas, dengan sekitar 2.000 spesies yang hidup di daerah yang dihuni manusia.

"Manusia memproduksi plastik dalam jumlah yang sangat besar, namun kita tidak memiliki cara yang efektif untuk mendaur ulangnya. Kami mulai bertanya-tanya tentang nanoplastik dan terutama bagaimana mereka diproduksi. Kami memilih rotifera sebagian karena mereka ada di seluruh zona beriklim sedang dan tropis di dunia, tempat tinggal manusia,” kata Profesor Baoshan Xing dari UMass Amherst Stockbridge School of Agriculture, seperti dilansir Study Finds, Senin (20/11/2023).

Penemuan ini memiliki implikasi untuk menilai secara akurat pergerakan nanoplastik di seluruh dunia. Nanoplastic tidak hanya berpotensi beracun bagi berbagai bentuk kehidupan, tetapi juga dapat mengangkut kontaminan tambahan ke dalam lingkungan. Selain itu, pelepasan bahan kimia berbahaya dari plastik dapat meningkat selama dan setelah fragmentasi.

"Penelitian kami hanyalah langkah pertama. Kita perlu melihat organisme lain di darat dan di air untuk mengetahui fragmentasi biologis mikroplastik dan berkolaborasi dengan ahli toksikologi dan peneliti kesehatan masyarakat untuk menentukan apa yang dilakukan oleh wabah nanoplastik ini terhadap kita,” jelas dia.

Mikroplastik telah merambah setiap lingkungan di Bumi, mulai dari puncak Gunung Everest hingga kedalaman Palung Mariana. Plastik dapat bertahan di alam hingga 500 tahun, dan penelitian telah menemukan mikroplastik di dalam darah dan jaringan jantung manusia. Sejauh mana risiko yang ditimbulkan oleh mikroplastik terhadap kesehatan manusia dan ekosistem planet ini masih belum diketahui, tetapi kehadirannya tidak dapat disangkal telah mengubah habitat alami secara global.

"Kami menunjukkan untuk pertama kalinya fragmentasi mikroplastik di mana-mana oleh rotifera. Ini adalah rute yang baru ditemukan untuk memproduksi dan menghasilkan nanoplastik di air tawar dan air laut di seluruh dunia, selain fragmentasi fisik dan fotokimia yang telah diketahui. Temuan ini sangat membantu untuk mengevaluasi fluks global nanoplastik secara akurat,” kata penulis utama Profesor Jian Zhao dari Ocean University of China.

Studi ini diterbitkan dalam jurnal Nature Nanotechnology

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement