Kamis 07 Dec 2023 19:04 WIB

Asia Tenggara Berisiko Alami Krisis Air Terparah dalam 1.000 Tahun Terakhir

Perubahan iklim telah mempercepat pencairan gletser.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Karena perubahan iklim mempercepat pencairan gletser di Dataran Tinggi Tibet, dampaknya terhadap wilayah Asia Tenggara bisa lebih dahsyat.
Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Karena perubahan iklim mempercepat pencairan gletser di Dataran Tinggi Tibet, dampaknya terhadap wilayah Asia Tenggara bisa lebih dahsyat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara bangkit dan runtuh selama 1.000 tahun terakhir, para peneliti menemukan bahwa kesengsaraan historis tersebut terkait erat dengan pasokan air yang berasal dari pegunungan Tibet.

Namun kini, karena perubahan iklim mempercepat pencairan gletser di Dataran Tinggi Tibet, dampaknya terhadap wilayah Asia Tenggara bisa lebih dahsyat daripada yang pernah terjadi pada milenium terakhir. Temuan ini merujuk pada studi terbaru yang diterbitkan di Nature Geoscience.

Baca Juga

Dengan merekonstruksi catatan aliran sungai selama 1.000 tahun, para peneliti menemukan korelasi yang kuat antara aliran air dan vegetasi musim kemarau di seluruh Semenanjung Indocina. Temuan ini menunjukkan pentingnya air sungai Tibet bagi produktivitas ekosistem ekologi dan masyarakat di Asia Tenggara.

Tim peneliti internasional yang berasal dari berbagai lembaga di Argentina, Inggris, Chili, China, Republik Ceko, Jerman, Swiss, dan Amerika Serikat, mengatakan bahwa negara-negara perlu memperkuat kerja sama untuk meningkatkan strategi pelestarian air dan menjaga sumber daya air.

“Aliran sungai yang ekstrem bertepatan dengan pergeseran yang berbeda pada populasi lokal yang terjadi pada abad pertengahan, termasuk pendudukan dan runtuhnya Angkor Wat dari abad ke-11 hingga abad ke-16,” kata penulis utama studi Chen Feng.

“Proyeksi kami menunjukkan bahwa perubahan aliran sungai di masa depan akan mencapai, atau bahkan melebihi, rentang historis pada akhir abad ini, yang menimbulkan risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Asia Tenggara,” tambah Feng, seperti dilansir South China Morning Post, Kamis (7/12/2023).

Dataran Tinggi Tibet disebut juga menara air Asia karena sungai-sungai yang dialiri gletser yang mengalir dari dataran tinggi ini merupakan sumber air utama bagi sebagian besar Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pasokan air tersebut sangat penting untuk menyediakan makanan bagi daerah-daerah tersebut, mulai dari penanaman padi hingga panen ikan.

Dalam penelitian ini, tim merekonstruksi aliran sungai Mekong, Salween, dan Yarlung Tsangpo dari tahun 1000 hingga tahun 2018. Hal ini dilakukan melalui pengumpulan dan identifikasi sampel dari pohon-pohon di Dataran Tinggi Tibet bagian selatan yang telah berusia ratusan tahun.

Dengan menganalisis lebar cincin pertumbuhan dari pohon juniper, spruce dan cemara, mereka dapat menentukan pasokan air dari waktu ke waktu - mengingat pohon tumbuh lebih lebat jika jumlah air tinggi. Menurut Feng, merekonstruksi aliran sungai tersebut sangat penting karena wilayah terpadat di dunia berada di bagian hilir dari ketiga jalur air tersebut.

Sungai Mekong adalah sungai terpanjang di Asia Tenggara, melintasi China, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Sungai Salween mengalir dari China ke Myanmar dan Thailand, sementara Yarlung Tsangpo (hulu Sungai Brahmaputra) melintasi China, India, dan Bangladesh.

Tim peneliti mengatakan bahwa dari tahun 1050-an hingga 1190-an, peningkatan yang kuat dalam laju aliran sungai ini sejalan dengan pertumbuhan sosio-ekonomi dan budaya yang pesat di wilayah tersebut. Hal ini termasuk kebangkitan dinasti Bagan, dinasti pertama dalam sejarah Myanmar yang membangun pondasi budayanya, dan penyatuan negara dari tahun 1050-an hingga 1070-an.

Hal ini juga bertepatan dengan kebangkitan kekaisaran Khmer di Kamboja, pembangunan kompleks candi Angkor Wat dari tahun 1110-an hingga 1150-an, serta penaklukan kerajaan Indocina kuno, Champa, pada pertengahan abad ke-12. Namun, menurut peneliti, penurunan aliran sungai dari awal abad ke-13 hingga akhir abad ke-15 menunjukkan intervensi kekuatan eksternal dan beberapa tantangan besar terhadap sistem sosio-ekonomi, politik, dan budaya di Asia Tenggara.

Sebagai contoh, antara tahun 1280 dan 1340, pasokan air yang rendah bertepatan dengan krisis besar di dinasti Bagan termasuk invasi Mongol pada tahun 1287. "Krisis ini ditandai dengan dislokasi ekonomi, kekacauan politik dan perpecahan Myanmar," kata para peneliti.

Periode aliran air rendah yang paling lama dalam 1000 tahun terakhir, dari tahun 1360 hingga 1500, juga menyaksikan runtuhnya kekaisaran Khmer dan pengabaian Angkor Wat secara perlahan.

"Gletser yang mencair adalah pasokan air yang sangat penting bagi sungai yang berasal dari Dataran Tinggi Tibet. Seiring dengan meningkatnya pemanasan global, produksi air dapat meningkat, bahkan mencapai tingkat yang tinggi seperti pada abad pertengahan," kata peneliti.

Chen mencatat bahwa aliran sungai yang diteliti oleh tim dipengaruhi oleh hujan dan gletser. Pasalnya, ketika pemanasan global semakin parah, produksi air dapat meningkat, bahkan mencapai tingkat yang tinggi pada abad pertengahan.

"Seiring dengan memanasnya suhu bumi, kerja sama internasional diperlukan untuk bersama-sama mengelola peningkatan dan alokasi sumber daya air," ujar Chen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement