Jumat 12 Jan 2024 06:30 WIB

Emisi Gas Rumah Kaca dari Perang Berpengaruh Terhadap Perubahan Iklim Dunia

Emisi karbon yang keluar dari tank dan jet tempur seolah tidak masuk hitungan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pemandangan puing-puing bangunan yang terkena serangan udara Israel, di Jabalia, Jalur Gaza.
Foto: AP Photo/Hatem Moussa
Pemandangan puing-puing bangunan yang terkena serangan udara Israel, di Jabalia, Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan selama dua bulan pertama perang di Gaza dilaporkan lebih besar daripada jejak karbon tahunan dari 20 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia. Hal ini merujuk pada studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari Inggris dan Amerika Serikat.

Peneliti mencatat, sebagian besar (lebih dari 99 persen) dari 281 ribu metrik ton karbon dioksida yang diperkirakan telah dihasilkan dalam 60 hari pertama setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober, dapat dikaitkan dengan pengeboman udara dan invasi darat Israel ke Gaza. Adapun biaya iklim dari 60 pertama respon militer Israel setara dengan pembakaran setidaknya 150 ribu ton batu bara.

Baca Juga

Emisi yang dilepaskan itu mencakup CO2 dari pesawat terbang, tank dan bahan bakar dari kendaraan lain, serta emisi yang dihasilkan dari pembuatan dan peledakan bom, artileri dan roket. Ini tidak termasuk gas rumah kaca lainnya seperti metana. Hampir setengah dari total emisi CO2 berasal dari pesawat kargo AS yang menerbangkan pasokan militer ke Israel.

Roket-roket yang ditembakkan pada periode yang sama juga menghasilkan sekitar 713 ton CO2, yang setara dengan sekitar 300 ton batu bara - menggarisbawahi asimetri mesin perang masing-masing pihak. Data ini sekaligus memberikan estimasi awal mengenai biaya karbon dari konflik yang terjadi di Gaza saat ini, yang juga menyebabkan penderitaan manusia, kerusakan infrastruktur, serta bencana lingkungan.

Penelitian ini dilakukan di tengah meningkatnya seruan untuk akuntabilitas yang lebih besar atas emisi gas rumah kaca militer, yang memainkan peran besar dalam krisis iklim tetapi sebagian besar dirahasiakan dan tidak diperhitungkan dalam negosiasi tahunan PBB tentang aksi iklim.

"Studi ini hanya merupakan gambaran dari jejak militer perang yang lebih besar. Ini masih gambaran parsial dari emisi karbon yang sangat besar dan polutan beracun yang akan tetap ada setelah pertempuran berakhir," kata Benjamin Neimark, salah satu peneliti sekaligus dosen senior di Queen Mary University of London, seperti dilansir The Guardian, Kamis (11/1/2024).

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa jejak karbon yang sebenarnya bisa mencapai lima hingga delapan kali lebih tinggi, jika emisi dari seluruh rantai pasokan perang dimasukkan.

"Dampak militer terhadap lingkungan memungkinkan mereka untuk mencemari tanpa hukuman, seolah-olah emisi karbon yang keluar dari tank dan jet tempur tidak masuk dalam hitungan. Hal ini harus dihentikan, untuk mengatasi krisis iklim kita membutuhkan akuntabilitas," tambah Neimark, yang bekerja sama dengan para peneliti di University of Lancaster dan Climate and Community Project (CCP), sebuah thinktank kebijakan iklim yang berbasis di Amerika Serikat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement