Selasa 12 Mar 2024 21:10 WIB

Aktivis Gambut: Stop Alih Fungsi Lahan Gambut di Sumsel

Alih fungsi lahan gambut menimbulkan berbagai dampak buruk.

Petugas BPBD memadamkan kebakaran lahan gambut di Sei Rambutan, Ogan Ilir, Indralaya, Sumatra Selatan, Kamis (17/9).
Petugas BPBD memadamkan kebakaran lahan gambut di Sei Rambutan, Ogan Ilir, Indralaya, Sumatra Selatan, Kamis (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Pegiat lingkungan meminta aparat berwenang menyetop kegiatan alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.

"Alih fungsi lahan gambut menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak buruk di berbagai sektor, seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan hingga hubungan bilateral antarnegara," kata Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan M Hairul Sobri.

Baca Juga

Dia menjelaskan, selain dampak alih fungsi lahan gambut, tata kelola kesatuan hidrologi gambut (KHG) secara serampangan menimbulkan krisis ekologi yakni kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta banjir.

Krisis ekologi tersebut selalu menghantui masyarakat terutama yang bermukim di kawasan KHG dan sekitarnya. Di mana pada musim kemarau terjadi kekeringan dan karhutla serta pada musim hujan terjadi banjir.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu keseriusan pemerintah dengan tidak mengeluarkan izin yang mengancam KHG, katanya.

Menurut mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel itu, selama ini sudah banyak yang dilakukan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan gambut yang mengintai setiap tahunnya. Namun, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.

Untuk itu, restorasi gambut di sejumlah kabupaten di Sumsel yang sudah berjalan sekitar 10 tahun perlu ditingkatkan. "Saya berharap restorasi gambut terus ditingkatkan lagi, agar permasalahan yang terjadi selama ini dapat diminimalkan," ujar Sobri.

Sementara Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel BRGM Desi Efrida Lesti menyampaikan roadmap pendekatan restorasi gambut di provinsi ini dilihat dari tiga periode yakni pada 2016-2020 berlangsung secara parsial dan quick response. Yakni merestorasi gambut yang terjadi karhutla berbasis KHG tanpa memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.

Kemudian pada 2021-2024 konsen kerja meliputi parsial dan quick response serta sistematika terpadu. Dalam periode itu, lembaga adhock yang konsen terhadap gambut pemodelannya restorasi sistematik dan terpadu dengan memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.

Kemudian untuk periode 2025 sudah fokus dengan implementasi penuh restorasi sistematik terpadu. Artinya bagaimana kondisi KHG akan tetap terpelihara dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya.

"Memang persoalan di lapangan masih didapati masyarakat bergantung untuk keberlangsungan hidupnya di kawasan gambut lindung maupun konservasi. Jangan sampai perseteruan terjadi justru antara pemerintah dan masyarakat. Ini harus dihindari," ujar Desi Efrida.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement