REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Binov Handitya, menyoroti pentingnya kearifan lokal menjadi pertimbangan untuk dimasukkan dalam tata kelola kehutanan, terutama masyarakat yang telah hidup dalam waktu lama di sekitar hutan.
Dalam diskusi daring diikuti dari Jakarta, Rabu, peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Binov, mengatakan kaitan antara perlindungan hutan dengan kearifan lokal dapat ditemukan dalam potret perilaku ekologis masyarakat asli yang tinggal dan hidup selama berabad-abad di sekitar hutan. "Masyarakat lokal memiliki cara sendiri dalam memelihara tanah dan sumber daya alam yang lebih baik karena mereka memiliki semacam ikatan religius terhadap hutan tersebut," kata Binov.
Nilai dan etika leluhur yang masuk dalam kearifan lokal, termasuk bagaimana manusia selayaknya memperlakukan alam dan berhubungan dengan alam yang sudah ada sejak dulu. Masyarakat lokal diharapkan sebagai agen pemelihara utama dalam hal keanekaragaman hayati dan konservasi hutan.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Subarudi dari Pusat Riset Kependudukan BRIN mengatakan, sudah banyak kearifan lokal yang menjadi pertimbangan dalam tata kelola hutan. Salah satu contohnya kearifan lokal terkait durian yang ada di Kalimantan.
Dia menjelaskan peran serta masyarakat dalam tata kelola hutan juga sudah didorong oleh pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui skema perhutanan sosial. Perhutanan sosial sendiri dibagi lima jenis yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan hutan.
Dia mengatakan, pengakuan hutan adat dalam perhutanan sosial masih dapat berjalan lebih maksimal, dengan menurut data KLHK dalam periode 2016-2023 telah diakui 244.195 hektare hutan adat yang tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten kota. Luas itu di luar pengakuan wilayah adat yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Menurut lembaga nonpemerintah Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) potensi luas hutan adat adalah 1,3 juta hektare untuk Pulau Sumatera, 8,4 juta hektare di wilayah Kalimantan, 1,2 juta hektare di Sulawesi, 271 ribu di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sementara di Maluku berpotensi mencakup 199 ribu hektare dan 11,3 juta hektare di Papua.
"Perda itu mahal kalau satu-satu (penetapan) hutan adat. Saya dulu sudah pernah sarankan sudah saja, cek dulu hutan adatnya berapa jadi satu perda," ujarnya.