Kamis 11 Apr 2024 20:55 WIB

Kekeringan Akibat El Nino Ancam Pasokan Energi dan Pangan Afrika

El Nino sebabkan penurunan curah hujan di Afrika Selatan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pola iklim El Nino telah menyebabkan penurunan rata-rata curah hujan di Afrika bagian Selatan.
Foto: AP/Ben Curtis
Pola iklim El Nino telah menyebabkan penurunan rata-rata curah hujan di Afrika bagian Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zimbabwe berada di ambang bencana nasional karena kekeringan yang semakin parah membuat jutaan orang menghadapi kelaparan. Awal musim hujan yang tertunda, diikuti dengan curah hujan yang rendah, telah mengeringkan hamparan lahan dari Angola di barat hingga Mozambik di timur, menghancurkan panen yang menjadi tumpuan hidup puluhan juta orang dan mengeringkan saluran-saluran air.

Sebuah wilayah yang sangat luas di perbatasan Zambia, Zimbabwe dan Botswana baru saja mengalami bulan Februari yang paling kering dalam beberapa dekade terakhir, menurut Program Pangan Dunia (WFP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Baca Juga

Para ahli regional mengatakan bahwa pola iklim El Nino telah menyebabkan penurunan rata-rata curah hujan di Afrika bagian Selatan.  Namun, para ahli mengatakan bahwa hal ini memperkuat dampak perubahan iklim yang sudah ada, yang meningkatkan suhu di wilayah tersebut.

“Kurangnya hujan selama fase kritis dari siklus panen memperburuk masalah struktural yang ada yang menyebabkan kelaparan, termasuk kemiskinan dan ketergantungan yang besar pada pertanian tadah hujan,” kata Tomson Phiri, juru bicara WFP untuk Afrika bagian selatan, seperti dilansir Sky News, Kamis (11/4/2024).

Akibatnya, jutaan orang di Afrika bagian Selatan harus menghadapi keadaan darurat pangan pada puncak musim paceklik antara bulan Januari dan Maret.

“Situasi ini bisa semakin memburuk, kecuali jika pemerintah dan pihak terkait melakukan aksi nyata sesegera mungkin. Jumlah orang yang membutuhkan akan meningkat secara eksponensial,” kata dia.

Diperkirakan sembilan juta orang terkena dampak kekeringan di Malawi, dan lebih dari enam juta orang di Zambia, demikian ungkap UNICEF. Kedua negara tersebut mengumumkan keadaan darurat bulan lalu.

Para pejabat di Zimbabwe sedang mempertimbangkan untuk mengikuti langkah yang sama, di mana sekitar 2,7 juta orang berisiko mengalami kelaparan. Presiden Zambia, Hakainde Hichilema, mengatakan bahwa hampir satu juta hektar tanaman jagung mengalami gagal panen.

Di wilayah Mangwe, Zimbabwe yang terkenal kering, bahkan tanaman yang tahan kekeringan seperti sorgum dan pearl millet tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi panas dan kering tahun ini.

David Gwapedza, seorang peneliti sumber daya air di Rhodes University di Afrika Selatan, mengatakan bahwa kekurangan air di Bulawayo, Zimbabwe, dapat menyebabkan wabah penyakit seperti kolera.

“Jika kekeringan semakin parah di Zimbabwe dan Zambia, yang bergantung pada pembangkit listrik tenaga air, maka hal ini berisiko menguras Sungai Zambezi dan dapat mengurangi pasokan energi ke sektor-sektor penting seperti industry,” kata Gwapedza.

Ada berbagai jenis kekeringan dan penyebabnya sangat kompleks dan beragam. Namun, para ilmuwan di World Weather Attribution - yang mengkaji penyebab cuaca ekstrem - yakin bahwa perubahan iklim memperburuk kekeringan di Afrika bagian Selatan.

Sarah Champion MP, ketua Komite Pembangunan Internasional (IDC) yang beranggotakan para anggota parlemen lintas partai, mengatakan bahwa komite tersebut telah mendengar bukti yang mengkhawatirkan, di mana kekeringan terus terjadi di negara-negara Afrika bagian selatan seperti Malawi.

“Ini berdampak pada meningkatnya kerawanan pangan dan kekurangan gizi, yang menyebabkan tumbuh kembang anak-anak menjadi terhambat,” kata dia.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan satu dari tiga orang di negara berkembang menderita kelaparan pada tahun 1970. Angka ini menurun menjadi satu dari 10 orang pada tahun 2015, meskipun akhir-akhir ini perkembangannya melambat. Afrika Sub-Sahara secara konsisten mengalami tingkat kekurangan gizi tertinggi, yang bahkan meningkat sejak 2010.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement