Jumat 10 May 2024 20:13 WIB

Antisipasi Dampak Sampah Antartika, BRIN Lakukan Pemantauan

Pada dekade terakhir, jumlah sampah antariksa telah meningkat pesat.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Skema benturan antara satelit kecil dengan sampah luar angkasa, (ilustrasi)
Foto: Analytical Graphic.Inc
Skema benturan antara satelit kecil dengan sampah luar angkasa, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampah antariksa atau dikenal dengan istilah space debris menjadi ancaman untuk keselamatan peluncuran satelit ke orbit dan keselamatan satelit yang masih beroperasi di antariksa.

Pada dekade terakhir, jumlah sampah antariksa telah meningkat pesat. Sampai saat ini, sekitar 24 ribu sampah antariksa yang telah dicatat, dengan sekitar 19 ribu diantaranya telah dikatalogkan oleh Space-Track. Namun, selain jumlah yang diketahui tersebut, masih terdapat sampah antariksa yang belum tercatat dengan ukuran lebih kecil, yang diperkirakan mencapai ratusan juta objek.

Baca Juga

Sampah antariksa memberikan potensi bahaya jika masuk kembali (re-entry) dan kemudian jatuh ke bumi. Terlebih, Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki bentang seperdelapan lingkar bumi atau lebih kurang 5.000 kilometer, sangat rentan mengalami atmosfer re-entry yang berpotensi jatuhnya benda-benda antariksa tersebut ke bumi.

Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Neflia mengatakan bahwa sampah antariksa yang berpotensi mengalami re-entry atau masuk kembali dan kemudian jatuh ke bumi biasanya berasal dari benda antariksa yang berukuran lebih dari sepuluh sentimeter.

Neflia merinci, berdasar rekaman Space-Track dari 1957 hingga 2019, terdapat 16.085 objek antariksa yang terdiri dari debris, payload dan badan roket, dengan 6.560 objek memiliki penampang radar atau Radar Cross Section (RCS) antara 0,1 hingga satu meter persegi, dan 9.526 objek memiliki RCS lebih dari satu meter persegi.

“Dari total objek antariksa tersebut, terdapat 5.670 debris dengan 4.435 debris memiliki RCS antara 0,1 hingga 1 meter persegi, dan 1.236 debris dengan ukuran lebih besar dari 1 meter persegi,” kata Neflia dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (10/5/2024). 

Lebih lanjut, melalui penelitian berjudul “Potential Hazards Analysis of the Space Debris Over 10 cm in Size Based on Their Orbital Parameters”, Neflia dan tim mengungkapkan dari seluruh debris, hanya yang memiliki ketinggian di bawah 200 kilometer yang berpotensi jatuh ke bumi.

Berdasarkan inklinasinya, ada 15 debris dengan ketinggian di bawah 200 kilometer yang memiliki inklinasi di bawah 30 derajat. Adapun untuk inklinasi antara 30 sampai 60 derajat dan lebih dari 60 derajat, terdapat 470 dan 1032 debris dengan ketinggian di bawah 200 kilometer.

Untuk wilayah Indonesia, potensi jatuhnya debris cenderung kecil. Hal ini didasarkan pada berapa kali debris tersebut melewati wilayah Indonesia selama mereka berevolusi.

Untuk Low Earth Orbit (LEO), sebagian besar debris memiliki periode mengelilingi bumi berkisar antara 90 hingga 120 menit. "Jadi dalam sehari, debris akan mengelilingi bumi sebanyak 12 hingga 16 kali,” jelas Neflia.

Untuk debris yang inklinasinya lebih kecil dari sepuluh derajat, debris tersebut akan melewati area wilayah Indonesia setiap kali debris ini mengelilingi bumi. “Space debris dengan inklinasi berkisar antara sepuluh hingga 30 derajat akan melewati wilayah Indonesia enam sampai delapan kali sehari. Sedangkan space debris dengan inklinasi lebih besar dari 30 derajat akan melewati wilayah Indonesia tiga sampai lima kali sehari,” jelasnya lagi.

Untuk mengetahui potensi bahaya dari benda antariksa berukuran lebih dari 10 sentimeter berdasarkan orbit parameternya, Neflia dan tim melakukan pemilahan pada benda antariksa yang mengorbit yang dikategorikan sebagai debris.

“Berdasarkan inklinasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kurang dari 30 derajat, di antara 30 dan 60 derajat, dan lebih dari 60 derajat. Sedang berdasar ketinggian dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kurang dari 200 kilometer dan lebih dari 200 kilometer,” jelas dia.

Neflia berpendapat, pengelompokan pada ketinggian 200 kilometer dilakukan mengingat pada ketinggian tersebut benda antariksa menurun dengan sangat cepat, yang dikarenakan objek antariksa memasuki daerah atmosfer yang lebih rapat.

Di akhir paparan ditegaskan berdasar hasil riset yang dilakukannya menunjukkan bahwa sampah antariksa memiliki potensi tertinggi untuk jatuh ke wilayah Indonesia tidak signifikan atau kurang dari satu persen terhadap total sampah antariksa yang berpotensi jatuh ke bumi. Namun demikian, Neflia tetap menegaskan bahwa mitigasi dampak dari sampah antariksa ini harus diantisipasi dengan melakukan pemantauan terhadap objek tersebut secara terus menerus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement