Kamis 30 May 2024 14:18 WIB

BRIN: Jakarta Rentan Terhadap Perubahan Iklim, Mitigasi Perlu Diperkuat

Masyarakat pesisir dinilai menjadi kelompok yang paling berisiko.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Periset senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heri Purnomo, mengatakan Jakarta sangat rentan terhadap perubahan iklim. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Periset senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heri Purnomo, mengatakan Jakarta sangat rentan terhadap perubahan iklim. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Periset senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heri Purnomo, mengatakan Jakarta sangat rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini lantaran secara geografis, daerah khusus ibu kota ini terletak di pinggir pantai dan menjadi muara sungai-sungai besar.

Agus mengatakan masyarakat pesisir menjadi kelompok yang paling berisiko, di mana krisis iklim telah mendorong peningkatan air muka laut. 

Baca Juga

“Masyarakat pesisir harus menyiasati dampak yang ada. Sayangnya, adaptasi yang sudah dilakukan tidak semuanya berhasil. Jadi perlu ada intervensi dari pemerintah,” kata Agus dalam keterangannya, Kamis (30/5/2024).

Ia menekankan pentingnya upaya mitigasi dan adaptasi yang lebih serius dari pemerintah terkait. Menurut dia, upaya mitigasi seperti perbaikan saluran-saluran pembuangan banjir hingga reboisasi tidak cukup untuk mengantisipasi berbagai ancaman akibat perubahan iklim. “Masih ada masalah-masalah yang harus dihadapi dan hal inilah yang perlu diperbaiki,” ujar Agus.

 

Agus mengatakan pemerintah perlu melakukan intervensi di sejumlah proyek seperti penggalian sungai atau normalisasi sungai, peninggian jalan, serta sosialisasi yang relevan agar masyarakat lebih siap menghadapi perubahan iklim.

“Masyarakat juga membutuhkan sistem peringatan, seperti meninggikan tanggul-tanggul. Contoh aksi lainnya yaitu pemerintah dapat meringankan harga BBM, serta mengadakan pelatihan membuat batako dari kerang hijau,” kata Agus.

Dia menambahkan bahwa osilasi bisa saja terjadi pada periode 100 atau 200 tahun. Dampaknya, misalnya intrusi air garam atau laut, kekeringan berkepanjangan, banjir yang disebabkan oleh hujan atau pasang air laut. Contohnya di daerah Rorotan atau Marunda, pada 2007 tergenang sampai berhari-hari dengan ketinggian 70 hingga 80 centimeter.

“Kalau banjir yang biasa, itu 1 sampai 3 jam sudah surut. Beda dengan yang terjadi di Rorotan atau Marunda yang tergenang sampai berhari-hari, sehingga masyarakatnya harus dievakuasi,” kata dia.

Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Widodo Setiyo Pranowo, menambahkan bahwa kerentanan iklim yang terlihat di Jakarta sangat tinggi. Ada banyak bangunan pantai, serta adanya kemiringan pantai dari yang rendah, sedang, sampai tinggi.

“Setelah melihat kemiringan pantai, bisa dilihat lagi data yang lain yakni tunggang pasang surut atau perbedaan dari muka laut yang tinggi dan yang paling rendah. Tunggang pasang surut yang ada di teluk Jakarta adalah sedang. Dengan tunggang yang semakin panjang, akan menghasilkan gradien dari elevasi dengan menghasilkan arus yang kuat,” ungkap dia

Hal itu, menurutnya, ada indikator pasang surut per tahun yakni 0,85 hingga 0,879 meter, dilihat dari gelombang teluk Jakarta yang tingginya mencapai 40 centimeter. Karenanya, perubahan garis pantai yang tinggi maupun sedang cukup bervariasi. 

"Sepanjang pantura teluk Jakarta sebelah barat indeksnya rendah, sedangkan di posisi tengah termasuk rendah sampai sedang. Selanjutnya dari tengah menuju timur semakin tinggi," jelas Widodo.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement