Kamis 13 Jun 2024 12:23 WIB

Perubahan Iklim Ancam Keanekaragaman Hayati Laut

Akibat pemanasan suhu permukaan, lautan ehilangan dua persen oksigen.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Wisatawan menikmati keindahan bawah laut di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Senin (6/5/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Wisatawan menikmati keindahan bawah laut di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Senin (6/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dalam laporannya mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem laut semakin rusak akibat ulah manusia. Ancaman ini semakin bertambah karena perubahan iklim mengganggu kehidupan laut.

UNESCO menyatakan laut menghadapi berbagai ancaman yang berbahaya, mulai dari polusi, pengasaman dan hilangnya keanekaragaman hayati. UNESCO mengatakan laporan ini bertujuan untuk memberikan peringatan atas temuan dan data baru UNESCO mengenai ancaman terhadap lautan.

Baca Juga

"Hilangnya oksigen, adanya pengasaman, kenaikan permukaan laut, berdampak pada masyarakat pesisir dan ekosistem pesisir. Vegetasi karbon biru di lautan rusak, polusi yang berkaitan dengan plastik juga tumbuh dengan kuat dan stabil, dan juga ada polusi kimia lainnya." kata Sekretaris Eksekutif Komisi Oseanografi Antar-pemerintah UNESCO Vidar Helgesen, seperti dikutip dari Africa News, Rabu (12/6/2024).

Pernyataan ini ia sampaikan dalam pertemuan yang membahas laporan "State of the World's Ocean" di Paris. Pertemuan itu juga menayangkan film dokumenter mengenai dampak perubahan iklim.

UNESCO mengatakan “The Great Migration of Life” mendokumentasikan bagaimana perubahan iklim mengganggu salah satu peristiwa migrasi hewan terbesar di Wild Coast Afrika Selatan. "Permasalahan yang ada memang sangat besar. Banyak di antaranya yang bisa ditelusuri kembali ke perubahan iklim, jadi bisa dikatakan perubahan iklim mempunyai peran besar dalam banyak bahaya yang kini dihadapi lautan," kata Helgesen.

Dalam laporan itu, UNESCO mengatakan dalam 20 tahun terakhir rata-rata suhu laut naik dua kali lipat. Sementara permukaan laut naik dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Suhu laut pada tahun 2023 menjadi yang terpanas sejak 1950-an.

UNESCO mengatakan rata-rata suhu laut sudah naik 1,45 derajat celsius. Sementara di titik-titik panas seperti di Laut Tengah, Atlantik Tropis dan  Samudra Antartika mencapai 2 derajat celsius.

UNESCO mengatakan salah satu masalah yang dihadapi laut dunia adalah pengasaman. Hal ini disebabkan penyerapan emisi bahan bakar fosil yang mengubah komposisi kimia lautan. "Saat ini lautan 30 persen lebih asam dibandingkan masa pra-industri, dan persentasenya ditetapkan mencapai 170 persen pada tahun 2100 kecuali kita dapat mengubah arah," kata Helgesen.

Ia menambahkan salah satu konsekuensi pengasaman, cangkang kerang akan menjadi lebih tipis, lebih lemah dan produksinya akan semakin sedikit. "Kerang tidak hanya sesuatu yang kita nikmati di piring makan malam, ini juga sesuatu yang dimakan kehidupan laut, jadi (pengasaman) ini mengganggu rantai makanan di lautan," katanya.

Helgesen mengatakan polusi plastik di laut meningkat drastis. Limbah kimia juga menimbulkan ancaman besar. “Limpasan polusi nutrisi dari pertanian, dari industri kimia, dari air limbah, benar-benar menyedot oksigen dari air,” katanya.

Laporan UNESCO mengungkapkan, akibat pemanasan permukaan air laut dan polusi sejak tahun 1960-an, lautan kehilangan dua persen oksigennya. UNESCO mengatakan di daerah pesisir yang paling terdampak, beberapa spesies terancam mati karena kekurangan oksigen.

Dalam laporannya, UNESCO mengidentifikasi ada sekitar 500 “zona mati” di mana kekurangan oksigen berarti hampir tidak ada kehidupan laut yang bertahan. Helgesen mengatakan laporan tersebut juga menjelaskan dampak lain terhadap lautan yang kini sedang dipelajari para ilmuwan.

“Salah satunya adalah lebih banyak curah hujan di daratan, karena perubahan iklim dan kenaikan suhu, juga berarti lebih banyak tanah yang tersapu dari daratan, membuat lautan menjadi lebih gelap, yang mempengaruhi plankton, yang berada di bagian bawah rantai makanan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement