REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru memperingatkan rendahnya jumlah salju di Himalaya yang sangat penting bagi pasokan air hampir 240 juta orang yang tinggal di daerah pegunungan dan 1,65 miliar orang lainnya yang tinggal di lembah-lembah di bawahnya. Lembaga pemantau pegunungan International Centre for Integrated Mountain Development (ICIMOD) melaporkan, akumulasi salju di Himalaya tahun ini lebih rendah dibandingkan rata-rata.
ICIMOD merupakan pusat penelitian dan berbagi pengetahuan antar pemerintah regional untuk delapan negara anggota regional di wilayah Hindu Kush Himalaya (HKH), yakni Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Cina, India, Myanmar, Nepal, dan Pakistan. Salju dan es di Himalaya akan mengalir ke 12 sungai besar, menyumbang seperempat aliran air sungai-sungai tersebut.
Persistensi salju atau lama salju berada di permukaan tanah, dilaporkan lebih rendah seperlima dari normal. Dampaknya diperkirakan akan merembet ke seluruh sistem sungai.
Persistensi salju di Sungai Gangga, Indus, dan Brahmaputra dilaporkan turun drastis. Hal ini dapat mengakibatkan kekeringan dan berdampak pada jutaan orang. Salju dan es Himalaya bukan hanya lanskap yang indah, tapi juga sumber kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan HKH.
Persistensi salju di kawasan itu sangat rendah tahun ini dan menimbulkan kekhawatiran ketahanan pasokan air ke masyarakat. Turunnya ketahanan salju di permukaan ini bukan peristiwa yang terisolasi tapi bagian dari tren yang sudah diobservasi selama dua dekade terakhir.
Persistensi salju di Sungai Helmand di Afghanistan turun 31,8 persen dibawah normal. Angka ini terendah sejak 2018 ketika persistensi salju di sungai itu turun 41 persen.
Begitu pula Sungai Indus yang turun 23,3 persen dibawah normal, terendah selama 22 tahun terakhir. Angka-angka ini mengkhawatirkan mengingat pentingnya peran sungai-sungai ini dalam menyediakan pasokan air bagi pertanian, konsumsi, dan industri di kawasan.
Pakar-pakar di ICIMOD mendesak pembuat kebijakan dan masyarakat untuk mengambil langkah proaktif untuk mengatasi potensi skenario kekeringan yang terjadi akibat rendahnya persistensi salju ini. ICIMOD memantau salju di permukaan Himalaya selama lebih dari 20 tahun dan data tahun 2024 menunjukkan anomali signifikan yang tidak bisa diabaikan.
Perubahan iklim yang terus mengakibatkan curah hujan tidak menentu dan mengubah pola cuaca membuat strategi adaptasi semakin diperlukan. Pihak berwenang menyerukan pembangunan rencana jangka panjang untuk mengelola sumber daya air berkelanjutan dan memitigasi dampak perubahan pada masyarakat yang rentan.
Wilayah Himalaya yang dikenal dengan padang esnya yang luas dan sering dijuluki sebagai "Kutub Ketiga", mengalami defisit salju yang signifikan. Perubahan iklim dianggap sebagai faktor utama penurunan jumlah salju.
Perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan kombinasi beberapa faktor, termasuk peningkatan suhu yang menyebabkan pencairan salju yang lebih cepat, pola curah hujan yang tidak menentu yang menyebabkan berkurangnya akumulasi salju, dan pergeseran pola cuaca yang mengubah siklus hujan salju tradisional.
Perubahan-perubahan ini menimbulkan risiko kekurangan air yang sangat serius, terutama tahun ini, dan menyoroti kebutuhan mendesak akan langkah-langkah proaktif untuk mengelola sumber daya air dan mendukung masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini. Rendahnya tingkat salju di Himalaya menjadi pengingat akan tantangan yang ditimbulkan perubahan iklim.