REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah perusahaan terbesar di dunia, lembaga-lembaga keuangan, pemerintah daerah dan kota, bergabung mendesak pemerintah meningkatkan ambisi iklim menjelang tenggat rencana pemangkasan emisi yang ditetapkan PBB pada Februari 2025 mendatang. Kelompok itu menandatangani sebuah koalisi yang dinamakan Mission 2025.
Mission 2025 diprakarsai Groundswell kolaborasi antara lembaga non profit Global Optimism, Systems Change Lab, dan Bezos Earth Fund. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam koalisi ini antara lain Unilever, IKEA, dan perusahaan energi berkelanjutan Inggris Octopus EV. Sementara pihak lain diwakili kelompok seperti We Mean Business Coalition. Juru kampanye lingkungan mengkritik perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil sementara yang lain frustrasi dengan apa yang mereka sebagai pemerintah yang berpikir sempit dan enggan mengambil perubahan yang diperlukan ketika bukti perubahan iklim menjadi semakin ekstrem.
Mission 2025 bertujuan memastikan pada pemimpin politik mereka mendapat dukungan kuat untuk mengambil langkah berani. Koalisi ini dipimpin Christiana Figueres dari Global Optimism yang mengawasi Perjanjian Paris pada tahun 2015, perjanjian global pertama untuk mengurangi emisi yang merusak iklim.
Sepuluh tahun sejak Perjanjian Paris hampir 200 negara yang menyetujuinya memiliki tenggat waktu untuk mengajukan Nationally Determined Contributions (NDCs) yang menjabarkan kebijakan-kebijakan untuk memenuhi target pemangkasan emisi global. Pada Senin (25/5/2024) mengutip data lembaga think-tank Energy & Climate Intelligence Unit, Mission 2025 mengatakan lebih dari dua pertiga pendapatan tahunan perusahaan-perusahaan terbesar di dunia, yang senilai 31 triliun dolar AS, kini selaras dengan upaya untuk mencapai emisi nol.
Sementara itu survei UNDP mengenai pandangan publik terhadap perubahan iklim yang dirilis pekan lalu menunjukkan 80 persen responden yang diambil dari 77 negara menginginkan pemerintah mereka mengambil tindakan yang lebih tegas pada isu perubahan iklim. Meskipun beberapa pemerintah, karena khawatir akan pemilihan ulang dan ekonomi, mundur dari janji-janji mereka sebelumnya.
Figueres mengatakan "kurangnya kepemimpinan" dan kebisingan politik menjadi penyebab kurangnya kebijakan yang memadai untuk mendorong teknologi yang lebih bersih yang terbukti lebih murah, berkinerja lebih baik, lebih cepat dibangun, dan merupakan investasi yang lebih aman daripada saingannya yang sedang berkuasa. "Ekonomi politik sangat jelas masa depan adalah masa depan dekarbonisasi," kata dia.
Kejelasan yang lebih besar dari pemerintah mengenai arah kebijakan publik diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada perusahaan dan pihak-pihak lain di sektor ekonomi riil untuk berinvestasi lebih banyak dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon pada periode 2035. "Kami pikir pemerintah masih sangat malu-malu mengenai apa yang akan mereka masukkan ke dalam NDC mereka," katanya.
Ia mengutip penolakan dari perusahaan-perusahaan dan pihak-pihak lain terkait dengan penghematan bahan bakar fosil, yang menurutnya berbau keputusasaan. Di pertemuan perubahan iklim PBB di Bonn bulan ini Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Simon Stiell mengatakan NDC harus mencakup "semua sektor dan semua gas rumah kaca".
Figueres mengatakan untuk membantu memberdayakan pemerintah agar dapat melangkah lebih jauh, koalisi Mission 2025 akan menyediakan data yang diperlukan untuk menjustifikasi perubahan kebijakan, dengan fokus pada 20 negara dengan perekonomian terbesar, yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi. "Mereka akan menjadi orang-orang yang akan kami fokuskan. Bukan hanya karena mereka memiliki kapasitas untuk mengubah lebih banyak, tetapi juga karena mereka memiliki sarana untuk melakukannya," katanya.