Kamis 05 Sep 2024 11:00 WIB

Sampah Plastik Ancam Ekosistem Laut dan Manusia

Botol plastik sekali pakai membutuhkan waktu hingga 400 tahun untuk terurai di laut.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Sejumlah Komunitas Anak Muda Sadar Sampah (Ankam) memungut sampah di Pesisir Pantai Gambesi, Ternate, Maluku Utara, Ahad (28/7/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Sejumlah Komunitas Anak Muda Sadar Sampah (Ankam) memungut sampah di Pesisir Pantai Gambesi, Ternate, Maluku Utara, Ahad (28/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Sri Lanka untuk Indonesia Jayanath Columbage mengatakan lautan saat ini mengalami dampak yang sangat besar dari aktivitas manusia. Sebanyak 40 persen lautan di dunia telah tercemar oleh berbagai kegiatan manusia, seperti polusi, penurunan jumlah ikan, dan hilangnya habitat pesisir.

"Kini, banyak orang berbicara tentang "ekonomi biru," sebuah istilah yang merujuk pada potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari laut, mirip dengan konsep "ekonomi hijau" di daratan," kata Colombage di acara Summit LCOY Indonesia 2024, Rabu (4/9/2024).

Namun, katanya, meskipun banyak pembicaraan tentang ekonomi ini, perhatian terhadap kesehatan laut masih kurang. Setiap tahun, sekitar 8 juta metrik ton plastik dibuang ke laut.

Ia mengatakan plastik-plastik ini, termasuk yang dibuang pada tahun 1950-an dan 1960-an, masih ada hingga sekarang. Misalnya, botol plastik sekali pakai membutuhkan waktu hingga 400 tahun untuk terurai di laut.

Plastik ini kemudian hancur menjadi mikroplastik dan nanoplastik yang dimakan oleh ikan, dan pada akhirnya masuk ke rantai makanan manusia, menyebabkan penyakit serius seperti kanker, tuberkulosis, dan penyakit jantung.

Selain polusi plastik, perubahan iklim juga menjadi ancaman besar bagi lautan. Ketika air laut memanas, volumenya meningkat dan kandungan oksigennya menurun. Jika permukaan laut naik 1 meter saja, banyak negara dan wilayah, termasuk Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, dan sebagian besar Jakarta, akan terkena dampaknya.

Colombage mengatakan untuk menghadapi tantangan ini, negara-negara harus membangun hubungan yang lebih harmonis dengan laut. Pemanasan global, perubahan iklim, dan cuaca ekstrem tidak bisa dihentikan tanpa tindakan nyata.

Oleh karena itu, tambahnya, penting untuk menyoroti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 14 tentang kelestarian laut. Kesadaran publik harus ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya laut, meskipun mereka tidak melihat atau merasakannya secara langsung.

Ia menjelaskan, Sri Lanka sebuah negara kepulauan kecil seluas 65.000 kilometer persegi, adalah salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Meskipun peringkat kerentanannya buruk, negara ini telah mengambil langkah-langkah penting, seperti kebijakan tanpa batu bara, upaya mencapai 70 persen energi terbarukan pada tahun 2030, dan komitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.

UNDP memberikan dukungan teknis dan pendanaan untuk membantu Sri Lanka mencapai target ini. Ia menambahkan Sri Lanka juga terlibat dalam berbagai inisiatif internasional untuk melindungi lingkungan, seperti Tropical Belt Initiative dan Global Lended Financial Alliance, serta proyek restorasi terumbu karang dan budi daya mangrove yang memberikan oksigen dan melindungi pantai dari erosi.

Ia mengatakan tidak berbicara sebagai diplomat, tetapi sebagai seorang aktivis lingkungan, menyerukan kepada semua pihak untuk mengambil tindakan nyata. Ia mengingatkan lingkungan telah dirusak, dan meskipun terlambat, langkah konkret yang diambil hari ini dapat menyelamatkan masa depan.

Columbage meminta seluruh pihak yang berpartisipasi dalam COP29 di Azerbaijan untuk berdiskusi dan membuat komitmen yang lebih kuat dalam melindungi bumi kita. "Semoga berhasil Sri Lanka dan Indonesia, serta dalam setiap upaya menyelamatkan planet ini," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement