Kamis 12 Sep 2024 21:36 WIB

ESG Summit 2024: Membangun Indonesia yang Berkelanjutan

Tujuan korporasi saat ini tidak boleh sekadar mencari keuntungan semata.

Rep: Eva Rianti / Red: Satria K Yudha
Kegiatan ESG Summit yang digelar Republika, di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/9/2024.
Foto: Republika/Prayogi
Kegiatan ESG Summit yang digelar Republika, di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/9/2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Forum ESG Summit 2024 bertema ‘ESG Ala Indonesia’ yang digelar Republika menjadi suntikan tersendiri untuk makin menyadarkan pentingnya implementasi konsep environmental, social, and governance (ESG). Para narasumber dari unsur pemerintah hingga swasta yang hadir dalam forum tersebut satu suara mengenai pentingnya penerapan dan pengembangan konsep ESG dalam membangun Indonesia yang berkelanjutan.

“Dunia usaha harus bisa mengelola dampak dari bisnis yang dilakukan, berkaca dari tujuan korporasi semakin berkembang dan semakin berubah,” kata Asisten Deputi Bidang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Kementerian BUMN Fahrudin dalam diskusi panel ESG Summit 2024 yang digelar di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (12/9/2024). 

Baca Juga

Fahrudin menjelaskan, pada zaman revolusi Inggris, banyak perusahaan mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam, untuk menciptakan kemakmuran yang setinggi-tingginya bagi pemegang saham. Kondisi itu menyebabkan terjadinya banyak kerusakan alam dan penjajahan terhadap sumber daya, bahkan praktik perburuhan.

Seiring berjalannya waktu, dunia usaha makin sadar betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Transformasi pun terjadi.

“Sekarang zaman sudah berubah. Kalau eksploitasi dibiarkan, perusahaan khususnya sustainability-nya akan berkurang, akan diragukan. Makanya perlu ada konsep baru, sehingga tujuan korporasi setelah revolusi dari yang hanya mencari keutungan semata untuk kepentingan atau ketentraman investor menjadi perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang jangka panjang dan berkesinambungan,” ungkapnya. 

Fahrudin mengatakan, konteks pembangunan berkelanjutan adalah memastikan kegiatan usaha tidak berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Sebaliknya, menciptakan kebermanfaatan bagi masyarakat bersama-sama dengan tumbuhnya perusahaan. 

Menurutnya, hal itu terangkum dalam beragam konsep yang dikenal dengan CSR, SDGs, sustainability, ataupun ESG. Fahrudin menyebut, konsep-konsep itu merupakan satu kesatuan yang memiliki satu tujuan bersama. 

“Sederhananya (analoginya), kalau kita berkendara dengan mobil, mobilnya ini adalah ESG, mesinnya adalah CSR, caranya itu SDGs, dan tujuannya adalah sustainability,” ujar dia. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPKL KLHK) Netty Widayati mengutarakan hal sama. Menurut pandangannya, semestinya hadirnya suatu perusahaan atau bisnis beriringan dengan manfaat sosial dan lingkungan yang ditampilkan. Bukan sebaliknya. Terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan.  

“Penerapan ESG harus melakukan usaha yang beretika. Karena kegiatan perusahaan berkegiatan dekat masyarakat, tentunya harus menjadi tetangga yang baik karena masyarakat sekitar yang langsung mendapat dampaknya,” ujar dia. 

Netty mengatakan, konsep ESG sebenarnya relevan dengan program KLHK yakni Public Disclosure Program for Environmental Compliance (Proper). Proper yang telah dimulai pada 1997 tersebut berupa kajian taat instansi terhadap lingkungan. 

Menurut penjelasannya, manfaat dari penerapan program Proper beragam, baik dari segi lingkungan, maupun dampaknya terhadap sosial dan ekonomi. Tercatat, program Proper telah mendorong pemberdayaan masyarakat dengan investasi atau dana bergulir pada 2023 sebesar Rp 1,56 triliun, dengan penerima manfaat sebanyak 5,9 juta orang. 

Berdasarkan data hasil program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup 2023, terjadi penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 299 juta ton, efisiensi air 437 juta meter kubik, efisiensi energi sebanyak 554 juta ton, dan 3R limbah non B3 sebanyak 34 juta ton. Juga 3R limbah B3 sebanyak 55 juta ton serta penurunan beban pencemaran mencapai 6 juta ton. 

Seiring dengan itu, Netty juga mengungkapkan potensi dari penerapan program bisnis berbasis lingkungan  di pasar modal. Menurut penuturannya, hasil rapor dari program Proper pada perusahaan atau emiten tertent dapat menjadi salah satu patokan pada pergerakan saham. Ia mengungkapkan, seringkali perusahaan yang mendapatkan rapor merah akan mengalami penurunan pada sahamnya. 

Itu menunjukkan bahwa di pasar saham pun, para investor pun sudah memiliki orientasi pada konsep ESG dan sustainability. Sehingga Netty pun mengaku optimistis bahwa konsep ESG akan dapat terus berkembang, seiring dengan semakin tingginya kesadaran dan pemahaman berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha, pemerintah, masyarakat, hingga investor.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement