REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Industri pertambangan perlu mencari keseimbangan antara mencari keuntungan dengan menjaga kelestarian lingkungan. Teknologi dan inovasi hijau harus menjadi fokus industri untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) Robert Nasi menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mengelola dampak lingkungan dari industri ekstraktif, khususnya pertambangan, terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Dalam seminar "Human Health & Environment Development in Indonesia Nickel Value Chain "yang digelar Nickel Institute, Nasi menggarisbawahi pentingnya menemukan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan warisan alam negara.
“Industri ekstraktif, terutama pertambangan, memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, menyumbang sekitar 6,5 hingga 7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” kata Nasi, Kamis (26/9/2024).
Namun, ia juga menekankan bahwa industri ini telah menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi. “Antara tahun 2000 dan 2020, sektor pertambangan berkontribusi terhadap deforestasi sebesar 700 ribu hektare," katanya.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, menjadi rumah bagi spesies mamalia, burung, amfibi, dan reptil dalam jumlah besar.
Namun, Nasi mengingatkan keanekaragaman hayati ini terancam oleh berbagai aktivitas manusia, termasuk pertambangan, perkebunan komoditas seperti kelapa sawit, dan perubahan iklim. Sekitar 40 juta warga Indonesia secara langsung bergantung pada keanekaragaman hayati untuk mata pencarian mereka.
Nasi juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam upaya dekarbonisasi di Indonesia, yang berkomitmen pada Perjanjian Paris untuk mencapai netralitas karbon. Pada tahun 2022, sektor pertambangan di Indonesia menghasilkan emisi sebesar 29 juta ton karbon dioksida (CO2), sebagian besar disebabkan oleh penggunaan energi non-terbarukan di pabrik peleburan.
“Kita menghadapi masalah ganda: deforestasi di satu sisi, dan di sisi lain, emisi karbon dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk peleburan,” ujarnya.
Di tengah peningkatan kesadaran global akan keberlanjutan, Nasi menyampaikan bahwa istilah “pertambangan berkelanjutan” belum sepenuhnya realistis. Ia menambahkan teknologi dan inovasi hijau harus menjadi fokus industri untuk meminimalkan dampak lingkungan. Salah satu aspek penting yang dibahas adalah kerangka regulasi di Indonesia yang diatur dalam konstitusi negara.
Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan. Meski begitu, Nasi mengakui bahwa pelaksanaan dan penegakan regulasi sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam hal kolaborasi lintas sektor.
“Tantangan sektoral tetap menjadi hambatan dalam meningkatkan kerangka regulasi. Misalnya, kurangnya koordinasi antara Kementerian Pertambangan dan Kementerian Kehutanan,” ungkapnya.
Menurut Nasi, peningkatan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat lokal sangat penting untuk mengurangi dampak negatif industri ekstraktif terhadap lingkungan.
Nasi juga mencatat bahwa rehabilitasi lahan pasca-pertambangan merupakan salah satu area yang masih memerlukan perhatian lebih. Di beberapa wilayah, vegetasi yang tumbuh di atas lahan bekas tambang sering kali berbeda dengan vegetasi alami, dan dalam beberapa kasus, tumbuhan tersebut bahkan dapat menyerap mineral dari tanah, seperti nikel.
Ia mengungkapkan bahwa terdapat eksperimen di masa lalu terkait “phytomining,” sebuah metode di mana tanaman digunakan untuk mengekstrak mineral dari tanah. Namun, hasilnya belum sesuai harapan.
Selain itu, isu konservasi air menjadi sorotan penting dalam diskusi tersebut. Nasi menekankan bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi masyarakat di sekitar lokasi pertambangan serta untuk operasional industri itu sendiri, termasuk pabrik peleburan. Namun, dengan perubahan iklim yang terus berlangsung, pengelolaan air akan menjadi semakin sulit, terutama dalam hal ketersediaan dan distribusi air.
“Sejauh ini, saya belum melihat adanya pendekatan holistik dalam pengelolaan lokasi tambang yang mempertimbangkan dampak minimal terhadap ketersediaan air,” katanya.
Nasi memberikan sejumlah rekomendasi, termasuk peningkatan penegakan regulasi yang ada dan transparansi dalam operasi industri. “Sering kali, kritik muncul karena kurangnya transparansi. Namun, menjadi transparan sepenuhnya juga bisa membuat industri menjadi sasaran kritik yang lebih besar,” katanya.
Ia juga menyerukan perlunya investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk metode ekstraksi yang lebih berkelanjutan dan penggunaan energi terbarukan di sektor industri, khususnya untuk pabrik peleburan. “Ada potensi besar dalam teknologi rendah karbon dan peningkatan efisiensi energi,” ungkapnya.
Terakhir, Nasi menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran publik dan sektor swasta akan pentingnya keanekaragaman hayati dan keberlanjutan. “Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau industri, tetapi juga memerlukan kerja sama internasional untuk menemukan solusi yang tepat,” katanya.