Senin 14 Oct 2024 14:27 WIB

Karhutla di Peru Hancurkan Ekosistem

Karhutla tembus rekor di berbagai wilayah di Amerika Selatan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Karhutla di Peru, 16 September 2024.
Foto: Peruvian Ministry of Defense via AFP
Karhutla di Peru, 16 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, AMAZON -- Kebakaran hutan yang menghanguskan banyak lahan di Peru beberapa terakhir menghancurkan ekosistem negara itu. Pasalnya, api membakar lahan padang rumput, hutan kering, pesisir dan hutan tropis Amazon.

Beberapa beruang melarikan diri dari hutan kering yang terbakar di utara Peru ditembak mati warga kota. Jaguar di di selatan Amazon tidak memiliki tempat untuk melarikan diri, mereka terjebak di atas pohon. Padang rumput dan lahan basah yang memainkan peran penting menyimpan air juga berubah menjadi abu. "Hutan hujan biasanya tahan api," kata konservasionis dan pendiri JungleKeepers, Paul Rosolie, Ahad (13/10/2024).

JungleKeepers merupakan organisasi nir-laba yang berpatroli dan melestarikan hutan hujan Amazon di Peru. Rosolie mengatakan saat berpatroli kelompoknya melihat kura-kura, ular, burung dan jaguar terbakar. "Hutan merupakan dunia mereka, jadi ketika terbakar mereka mati," katanya.

Data yang melacak satwa liar dari satelit, The Global Wildfire Information System (GWIS) menunjukkan pada tahun 2024 Peru mengalami 10.400 kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dua kali lipat dari rekor sebelumnya pada tahun 2020 dan hampir 2,5 kali dari total wilayah terbakar.

Karhutla tembus rekor di berbagai wilayah di Amerika Selatan. Bolivia, Brasil, Argentina dan Uruguay negara-negara dengan angka kebakaran hutan terbanyak. "Tahun ini lebih banyak wilayah, lebih banyak ekosistem dan lebih banyak spesies yang terdampak," kata ahli hukum organisasi nir-laba Peruvian Society of Environmental Law (SPDA) Luis Zari.

Ia menambahkan faktor manusia dan lingkungan yang mendorong penyebaran karhutla. Zari mengatakan selain rendahnya curah hujan dan tingginya suhu udara setelah berakhirnya El Nino, kegagalan pemerintah dalam merespon dan kebakaran yang dipicu aktivitas manusia juga mendorong penyebaran kehancuran.

Saat mendeklarasi masa darurat bulan September lalu, Presiden Peru Dino Boluarte mengakui negara kekurangan logistik untuk mengatasi kebakaran.   "Tidak ada apa pun di Peru, itu masalahnya, tidak ada bantuan," kata pendiri lembaga non-profit yang melindungi beruang di hutan kering Peru, Spectacled Bear Conservation (SBC), Robyn Appleton.

Direktur eksekutif SBC Alexander Moore mengatakan beruang-beruang beradaptasi pada iklim yang lebih kering. Tidak seperti beruang lain di pegunungan Andes lainnya berungan Peru dapat bertahan berbulan-bulan tanpa air.

Saat ini tinggal beberapa ratus beruang yang masih ada. Moore mengatakan konservasi setiap beruang sangat penting bagi ekosistem.

"Fragmentasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman terbesar beruang-beruang ini," kata Moore.

Ia menambahkan SBC bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mengedukasi, memberikan insentif pada pelestarian lingkungan dan membantu mengatasi karhutla. Moore menjelaskan modifikasi undang-undang kehutanan bulan Januari lalu mempermudah penggunaan lahan untuk pertanian dengan menghapus sejumlah syarat lingkungan dan membuat petani setempat berani membakar lahan.

"Kami benar-benar takut dan karena itu mengapa kami mencoba semua yang kami bisa untuk bekerja sama dengan komunitas untuk mengatasi ini karena ini tidak akan berhenti," kata Moore.

Ia menambahkan bila pemerintah lebih mempromosikan penggunaan lahan dan bisnis dibandingkan regulasi iklim untuk mengatasi perubahan iklim maka cuaca ekstrem akan terus menghancurkan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement