Sabtu 19 Oct 2024 18:00 WIB

Penelitian Ungkap Debu Berlian Dapat Meredakan Pemanasan Global

Partikel berlian sangat efektif dalam memantulkan radiasi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Para ilmuwan sedang menjajaki solusi geoengineering kontroversial untuk melawan pemanasan global, dan kali ini melibatkan berlian. Studi terbaru yang diterbitkan dalam Geophysical Research Letters dan dipublikasikan Science.org menemukan bahwa menyuntikkan lima juta ton debu berlian ke stratosfer setiap tahun dapat menurunkan suhu bumi hingga 1,6 derajat Celsius.

Dikutip dari Anadolu Agency, Sabtu (19/10/2024), penelitian yang dilakukan ilmuwan iklim dan peneliti postdoctoral Sandro Vattioni dari ETH Zurich di Swiss terinspirasi peristiwa masa lalu di mana asap dan partikel vulkanik mendinginkan Bumi dengan menutupi atmosfer. Para ilmuwan percaya debu berlian di stratosfer dapat memantulkan sinar matahari dan mengurangi panas.

Selama ini, para ilmuwan mengeksplorasi berbagai metode geoengineering yang kontroversial untuk mendinginkan bumi, termasuk membuang besi kelautan dan meluncurkan cermin ke luar angkasa. Salah satu usulan tersebut adalah metode geoengineering matahari yang dikenal sebagai "injeksi aerosol stratosfer".

Metode ini menyemprotkan aerosol ke stratosfer untuk menciptakan efek pendinginan yang serupa dengan "musim dingin vulkanik" (volcanic winter) yaitu periode pendinginan global akibat letusan gunung berapi besar.

Sejarah mencatat letusan gunung berapi pernah memicu musim dingin global. Erupsi tersebut melepaskan jutaan ton sulfur dioksida ke stratosfer yang kemudian bereaksi dengan uap air dan gas lain membentuk aerosol sulfat.

Aerosol ini memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa yang menyebabkan musim dingin vulkanik. Contoh terdekat adalah letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991 yang mendinginkan bumi hingga 0,5 derajat Celsius selama beberapa tahun.

Terinspirasi peristiwa itu, para ilmuwan mempertimbangkan untuk menyuntikkan aerosol sulfat ke atmosfer. Namun mereka menemukan injeksi sulfur buatan dapat menyebabkan hujan asam sulfat, merusak lapisan ozon, dan mengganggu pola cuaca dan iklim di atmosfer bawah.

Vattioni dan timnya mencari zat alternatif pengganti sulfur dioksida. Mereka menginginkan partikel global yang dapat bertahan lebih lama di atmosfer, tidak memerangkap panas dengan menggumpal, dan dapat memantulkan sinar matahari dengan efektif. Untuk mencapai hasil tersebut, mereka mengembangkan model iklim 3D yang menganalisis sifat kimia aerosol, pergerakannya di atmosfer, dan respon termalnya.

Selain sulfur dioksida, tim Vattioni menguji tujuh senyawa lain, termasuk kalsit (komponen utama batu kapur), berlian, dan aluminium. Setiap uji coba dijalankan pada superkomputer, mengevaluasi efek masing-masing senyawa selama 45 tahun secara real-time selama lebih dari seminggu.

Hasil penelitian menunjukkan partikel berlian sangat efektif dalam memantulkan radiasi dan dapat bertahan lebih lama di udara tanpa menggumpal. Selain itu, berlian dipilih karena tidak terlibat dalam reaksi yang dapat menghasilkan hujan asam, tidak seperti sulfur.

Vattioni mencatat untuk mencapai efek jangka panjang, 5 juta ton debu berlian perlu disuntikkan ke stratosfer setiap tahun, yang berpotensi mendinginkan planet ini sebesar 1,6 derajat Celsius.

Vattioni juga mencatat sulfur adalah opsi terburuk kedua karena kecenderungannya untuk menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, yang dapat memerangkap panas dan mengganggu pola iklim, mirip dengan efek El Niño.

Sementara itu, beberapa ilmuwan memperkirakan penyemprotan debu berlian ke atmosfer setiap tahun hingga tahun 2100 akan membutuhkan biaya sekitar 200 triliun dolar AS 2.400 kali lebih mahal daripada sulfur dioksida. Hal ini membuat beberapa ilmuwan tetap menganggap sulfur sebagai pilihan yang lebih efisien.

Meskipun penelitian ini menawarkan potensi solusi baru untuk melawan pemanasan global, biaya yang sangat tinggi dan potensi efek samping yang tidak diketahui masih menjadi pertimbangan penting. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi kelayakan dan dampak lingkungan dari geoengineering menggunakan debu berlian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement