REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, digelar di tahun yang diperkirakan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Rekor ini akan menambah tekanan pada negosiasi yang bertujuan menahan perubahan iklim.
Konsensus Saintifik Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) terakhir kali dirilis pada 2021. Para ilmuwan mengatakan bukti-bukti menunjukkan pemanasan global dan dampaknya terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
Penelitian terbaru mengindikasikan batas 1,5 derajat Celsius sudah terlampaui. Para ilmuwan menilai kemungkinan dunia sudah melewati batas 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri yang merupakan batas penting upaya menahan resiko perubahan iklim hingga ke tingkat yang tidak bisa dipulihkan.
Indikasi ini diungkapkan Andrew Jarvis dari Universitas Lancaster dan Profesor Piers Forster di Universitas Leeds dalam penelitian yang berdasarkan analisa terhadap gas atmosfer berusia 2.000 tahun yang terperangkap di inti es antartika. Penelitian ini memperluas pemahaman tentang tren suhu sebelum masa industri.
Biasanya para ilmuwan mengukur suhu masa industri dari rentang waktu 1850 sampai 1900. Berdasarkan pengukuran ini, pemanasan global saat ini 1,3 derajat Celsius lebih panas dari masa pra-industri.
Namun, penelitian yang diterbitkan jurnal Nature Geoscience pada Senin (11/11/2024) mengungkapkan data terbaru menunjukkan garis dasar pra-industri lebih panjang, mencakup dari tahun 13 sampai 1700.
"Mengukur pemanasan global yang disebabkan manusia merupakan tugas yang sulit karena memaksa kami untuk membandingkan suhu saat ini dengan suhu pada masa pra-industri. Kami menyebutnya sebagai garis dasar pra-industri," kata Jarvis seperti dikutip dari Technology Networks Applied Sciences, Rabu (13/11/2024).
Jarvis mengatakan, pengukuran suhu global pra-industri yang paling dekat yang bisa didapatkan adalah dari pertengahan tahun 1800-an. Oleh karena itu, tambahnya, tidak mengherankan bahwa data suhu pra-industri sebelumnya tidak lengkap karena Revolusi Industri sudah berlangsung saat itu.
"Jadi, menggunakan data suhu awal ini sebagai garis dasar seperti yang dilakukan metode sebelumnya tidak hanya mengabaikan pemanasan yang sudah berlangsung, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian yang signifikan dalam estimasi pemanasan," kata Jarvis.
Para ilmuwan yakin metode baru mereka merupakan kandidat kuat untuk mengukur kemajuan tolok ukur Perjanjian Paris, yakni 1,5 dan 2 derajat Celsius sebelum masa pra-industri. Jarvis mengatakan metode terbaru ini memiliki sejumlah kekuatan. Pertama, metode ini secara langsung mengatasi masalah bagaimana membangun garis dasar pra-industri yang kuat, meskipun metode ini berfungsi sama baiknya dengan garis dasar tahun 1850-1900.
Kedua, metode ini menghasilkan estimasi pemanasan yang disebabkan manusia yang setidaknya 30 persen lebih pasti daripada metode yang ada saat ini. Terakhir, metode ini mudah dan cepat untuk diterapkan, yang berarti dapat menghasilkan estimasi pemanasan setelah data karbon dioksida dan suhu tersedia tanpa harus menjalankan kembali model iklim yang rumit. "Hal ini juga berarti hasilnya transparan, sehingga lebih mudah dikomunikasikan kepada orang yang bukan ahli," katanya.