Senin 02 Dec 2024 12:20 WIB

Dunia tak Satu Suara Perangi Sampah Plastik

Negara-negara berbeda pendapat mengenai batasan produksi plastik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petugas dengan menggunakan perahu kayu membersihkan sampah plastik yang mengendap di Sungai Citarum di Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (12/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Petugas dengan menggunakan perahu kayu membersihkan sampah plastik yang mengendap di Sungai Citarum di Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (12/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BUSAN -- Putaran kelima Komite Negosiasi Antar-Pemerintah soal Polusi Plastik (INC-5) di Busan, Korea Selatan (Korsel) menunjukkan perbedaan negara-negara mengenai bagaimana mengakhiri sampah plastik. Sejumlah negara ingin produksi plastik dibatasi, sementara yang lain hanya ingin fokus pada pengelolaan sampah plastik.

“Jelas masih ada perbedaan yang terus berlanjut,” kata Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Inger Andersen, Ahad (1/12/2024).

Baca Juga

Negara-negara berbeda pendapat mengenai batasan produksi plastik, pengelolaan produk plastik, bahan kimia di dalam plastik dan pendanaan untuk membantu negara-negara berkembang mengimplementasikan perjanjian.

Opsi yang diusulkan Panama sebenarnya didukung lebih dari 100 negara. Panama mengusulkan pembentukan langkah-langkah pengurangan produksi plastik global.

Sementara usulan lainnya tidak memasukkan batasan produksi plastik. Perbedaan tersebut terlihat jelas dalam dokumen revisi yang dirilis pemimpin pertemuan Luis Vayas Valdivieso, yang dapat menjadi dasar perjanjian, tetapi tetap penuh dengan opsi-opsi pada isu-isu yang paling sensitif.

"Perjanjian yang hanya mengandalkan langkah-langkah sukarela tidak dapat diterima, sudah waktunya kami menanggapi dengan serius dan menegosiasikan perjanjian yang sesuai dengan tujuannya dan tidak dirancang untuk gagal," kata Direktur Jenderal Otoritas Pengelolaan Lingkungan Rwanda Juliet Kabera.

Sejumlah negara penghasil petrokimia seperti Arab Saudi menentang keras langkah-langkah pengurangan produksi plastik dan mencoba menggunakan taktik prosedural untuk menunda negosiasi.

"Tidak akan pernah ada konsensus, terdapat sejumlah pasal yang entah bagaimana tampaknya masuk (ke dalam dokumen) meskipun kami terus bersikeras pasal-pasal tersebut tidak termasuk dalam cakupan perjanjian," kata delegasi dari Arab Saudi Abdulrahman Al Gwaiz.

Berdasarkan data dari Eunomia pada tahun 2023 lalu Cina, Amerika Serikat, India, Korea Selatan dan Arab Saudi merupakan produsen polimer terbesar di dunia.

Bila perbedaan pendapat negara-negara berhasil diatasi, perjanjian polusi plastik akan menjadi kesepakatan paling signifikan sejak perjanjian iklim Paris tahun 2015 lalu. Kegagalan tercapainya kesepakatan ini terjadi satu pekan setelah Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) yang hasilnya juga tidak memuaskan semua pihak.

Di Baku, Azerbaijan, negara-negara kaya setuju untuk menggelontorkan 300 miliar dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim dan beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tetapi angka tersebut jauh dari yang diinginkan negara-negara berkembang sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun.

Arab Saudi juga melakukan manuver di COP29 agar tidak ada komitmen transisi energi seperti yang disepakati di COP28 tahun lalu. Beberapa negosiator mengatakan beberapa negara menahan proses tersebut, menghindari kompromi yang dibutuhkan dengan menggunakan proses konsensus PBB.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement