REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Lembaga think tank bidang transisi energi dan iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan penguatan ambisi iklim dan percepatan transisi energi di Indonesia memerlukan kolaborasi internasional yang erat. Kolaborasi itu termasuk dengan Cina melalui kerangka Belt and Road Initiative International Green Development Cooperation (BRIGC).
BRIGC merupakan inisiatif bersama yang diinisiasi Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup (MEE) Cina bersama mitra internasionalnya. IESR melihat BRIGC sebagai peluang strategis untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Lembaga itu menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan BRIGC, yang menandai kemitraan kedua institusi dalam mempromosikan dan mendukung kerja sama hijau serta rendah karbon dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) dan proyek-proyeknya di Indonesia. Acara penandatanganan ini berlangsung di Beijing, Cina, Kamis (12/12/2024) lalu.
Melalui MoU ini, IESR akan melakukan penelitian dan analisis kebijakan strategis, memberikan rekomendasi kebijakan, serta menetapkan prioritas aksi untuk memperkuat inisiatif hijau dan rendah karbon dalam kerja sama Belt and Road Initiative dengan MEE. Selain itu, IESR juga akan memanfaatkan keahlian luas dari anggota dan mitra BRIG, baik di Cina maupun internasional untuk mendorong transisi energi menuju mencapai netralitas karbon di Indonesia.
IESR aktif memperkuat kemitraan antara Indonesia dan Cina untuk mendorong dekarbonisasi sistem energi Indonesia dan memastikan pengembangan berkualitas tinggi. Pada September 2023, IESR, ClientEarth, dan BRIGC melakukan studi bersama yang mengidentifikasi peran Cina dan potensi area kerja sama antara Cina dan Indonesia dalam transisi energi. Pemerintah Cina menyambut baik rekomendasi kajian tersebut dan berguna dalam memperdalam hubungan antara Indonesia dan Cina.
View this post on Instagram
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menyoroti peran penting Cina dalam transisi energi global, sebagai produsen berbagai teknologi energi bersih dan investor untuk proyek energi terbarukan, baik domestik maupun di luar negeri. Cina memimpin inovasi teknologi, mengintegrasikan standar baru, model bisnis dan teknologi termutakhir, untuk mendorong transformasi bisnis rendah karbon di berbagai sektor.
Namun, Fabby mengingatkan proyek-proyek Belt and Road Initiative di masa lalu telah berkontribusi pada perubahan iklim dan polusi. Hingga tahun 2021, pembiayaan Belt and Road Initiative mencapai 29,55 miliar dolar AS untuk proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia. Fabby menekankan pentingnya untuk mengalihkan investasi dari yang berpusat pada pengembangan energi fosil ke energi terbarukan.
“Kita perlu mengalihkan investasi BRI dari batu bara ke energi terbarukan untuk mendukung Indonesia mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 atau lebih cepat. Indonesia perlu membangun 15 hingga 25 GW energi terbarukan setiap tahun mulai sekarang hingga 2050, disertai investasi dalam penyimpanan energi, modernisasi jaringan listrik, dan transmisi, dengan total investasi kumulatif sekitar 1,2 triliun dolar AS. Investasi dan teknologi dari Cina merupakan salah satu sumber penting bagi Indonesia untuk pencapaian target ini,” kata Fabby dalam siaran pers IESR, Senin (16/12/2024).
Fabby Tumiwa juga ditunjuk sebagai anggota BRI Green and Low Carbon Expert Network (GLEN) Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup (MEE) Republik Rakyat Cina. Presiden Xi Jinping mengumumkan pembentukan GLEN dalam Forum Belt and Road ketiga tahun lalu. GLEN beranggotakan 30 pakar, terdiri dari 17 ahli dari Cina, dan 13 ahli internasional. GLEN bertugas memberikan saran kepada pemerintah Cina tentang penghijauan BRI serta rekomendasi ahli untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan berkualitas tinggi di negara mitra BRI.
“Saya merasa terhormat dapat menjadi bagian dari GLEN dan berharap kontribusi saya dalam jaringan ini dapat membentuk visi hijau BRI. Tidak hanya hijau, proyek-proyek BRI harus dilaksanakan dengan prinsip kemitraan yang setara, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta penyelesaian tantangan spesifik setiap negara,” kata Fabby.
IESR berharap keterlibatan IESR dalam BRIGC dapat meningkatkan hubungan diplomatik dan ekonomi Indonesia dan Cina, mendorong kolaborasi strategis, mendukung proyek rendah karbon, menarik investasi yang lebih besar ke energi terbarukan serta memudahkan akses terhadap keahlian dan inovasi sehingga dapat mempercepat transisi energi berkeadilan di Indonesia.