Rabu 05 Feb 2025 21:00 WIB

Akademisi Minta Pemerintah Selaraskan Kebijakan dengan Perlindungan Lingkungan

Terdapat sejumlah narasi yang bertentangan dengan janji transisi energi.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Perahu melintas di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (12/9/2023).
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Perahu melintas di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (12/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam 100 hari awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan beberapa kebijakan strategis, seperti makan bergizi gratis, lumbung pangan (food estate), hingga swasembada energi dengan ambisi membuka 20 juta hektare hutan. Namun para akademisi menilai banyak hal kontradiktif antara kebijakan dan implementasi pemerintah, termasuk narasi bertentangan dari para aktor di balik kebijakan yang diambil.

Dalam diskusi dengan Lapor Iklim, para akademisi mendesak pemerintahan Prabowo menyelaraskan kebijakan dan memperbaiki tata kelola, terutama sektor pertambangan, untuk melindungi lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Pakar antropologi dan politik ekologi Universitas Indonesia Suraya A Affif, mengatakan selalu ada ambiguitas antara kebijakan dan implementasi program ketahanan pangan dari pemerintah.

Baca Juga

“Selama ini pemerintah hanya memprioritaskan cara pemenuhannya yang melalui impor. Sementara itu tidak ada kewajiban mengutamakan produksi pangan dalam negeri. Masih jadi pertanyaan apakah food estate adalah jawaban yang tepat untuk persoalan kedaulatan pangan,” kata Suraya dalam pernyataan Lapor Iklim, Rabu (5/2/2025).

Ia mengungkap ada tiga kontradiksi dalam seluruh agenda ketahanan pangan oleh pemerintah. Pertama, tidak belajar dari persoalan masa lalu, food estate malah menjadi prioritas. Kedua, pemerintah mengatakan berbasis kearifan lokal, namun kenyataannya dikelola oleh militer dan korporasi swasta. Ketiga, praktik militerisasi dan gastro kolonialisme dengan mengutamakan beras yang menggantikan pangan lokal.

Menurut pakar ekologi manusia dan masyarakat adat IPB University Satyawan Sunito, pemerintahan 100 hari Prabowo-Gibran menjadi cerminan belum optimalnya pengelolaan lahan di Indonesia. Ia mengatakan Indonesia perlu menelaah sejarah panjang penelanjangan rakyat dari sumber daya alam dan kehutanan.

“Yang menarik, perubahan tata kelola sumber daya secara nasional di nusantara tidak banyak berubah 150 tahun terakhir. Penguasaan atas sumber daya sudah didominasi oleh negara dan korporasi besar,” kata Satyawan.

Satyawan Sunito menambahkan saat ini keberlanjutan eksploitasi kawasan hutan sedang masif terjadi. “Setelah kawasan hutan menjadi tempat ekspansi modal besar, sekarang makin meluas ke kawasan non-hutan yang dijadikan sasaran ekspansi. Ada perampasan tanah penduduk oleh negara.” ungkap Satyawan.

Hal senada disampaikan Julius Christian, peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR), bahwa transisi energi selama 100 hari ini belum memiliki kejelasan. “Agenda transisi energi, menurunkan emisi, dan meminimalkan penggunaan batu bara masih sebatas pidato. Ada beberapa menteri mengeluarkan narasi yang bertentangan dengan janji-janji kampanye terkait transisi energi dan perubahan iklim,” ungkap Julius.

Ia menambahkan salah satu aspek penting yang diabaikan pemerintah dalam konteks transisi energi adalah dampak kesehatan terhadap masyarakat. “Sebenarnya ada agenda penggantian bahan bakar lebih ramah lingkungan, namun berjalan lambat. Dan terkait PLTU serta teknologi carbon capture and storage (CCS), semuanya jelas mengabaikan kesehatan publik,” kata Julius. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement